Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Kamis, 23 Desember 2021 | 13:42 WIB
Gunung Agung di Pulau Bali erupsi pada 17 Maret 1963

SuaraBali.id - Gunung Agung di Pulau Bali erupsi pada. Pasca erupsi, muncul berbagai fenomena alam mulai hujan pasir hingga hujan abu. Warga Bali yang mempunyai pengalaman melihat langsung fenomena letusan Gunung Agung ini, Made Suganda, menceritakannya dalam buku "Bali Jadul" yang disusun oleh Putu Setiawan.

Sebagaimana dilansir beritabali.com – Jaringan Suara.com, Inilah penuturan Suganda dalam buku tersebut  : Pada suatu hari setelah 2 atau 3 hari (kalau saya tidak salah) bencana itu betul-betul datang. Yang pertama kali adalah hujan biasa yang begitu lebat.

Setelah itu disusul dengan hujan pasir yang berlangsung cukup lama. Bisa dibayangkan ketika itu ada hujan pasir yang mana ukurannya dari halus sampai dengan berukuran sekitar 50 milimeter.

Pada saat kendaraan bermotor sangat jarang, baik itu sepeda motor maupun mobil. Untuk mobil pribadi sangat jarang sekali. Kalau di Kota Bangli mungkin sejumlah jari tangan kanan saja (5 buah).

Oleh karena itu saat terjadinya bencana hujan pasir maupun hujan abu tidak banyak korban material di kota tempat saya tinggal yaitu Kota Bangli. Setelah turunnya hujan pasir maka secara rutin tiap hari hampir selalu terjadi hujan abu dalam tempo yang cukup lama.

Kejadian ini berlangsung terus menerus, berhari-hari, berminggu-minggu dan berbulan-bulan. Beberapa lama kemudian setelah Gunung Agung meletus, masih di tahun 1963, masyarakat banyak mulai merasakan akibatnya dari erupsi Gunung Agung tersebut.

Tanaman atau tumbuh-tumbuhan yang menjadi sumber makanan mulai mengalami masalah. Satu persatu dan berkelanjutan, tanaman, tumbuhan menjadi mati. Panen padi maupun palawija gagal total dalam berkali-kali periode. Peristiwa alam ini menjadi sangat berpengaruh bagi kehidupan sosial ekonomi dan budaya masyarakat saat itu.

Cadangan pangan dalam semua bentuk bukan hanya terbatas namun juga minus atau kekurangan. Perayaan hari suci dan upacara yang pada jaman itu biasanya berlangsung memang sangat sederhana, tetapi  akibat bencana tersebut terselenggara dengan apa adanya.

Seingat saya, orang tua saya tidak pulang kampung ke Klungkung saat ada upacara "piodalan" di kampung halaman. Hal tersebut berlangsung selama hampir 3 kali piodalan (kurang lebih 1,5-2 tahun).

Setelah beberapa minggu atau bulan dari saat Gunung Agung meletus, maka mulailah tumbuh berbagai jenis penyakit, mulai dari penyakit kurang gizi, penyakit pernafasan, penyakit kulit, dan lain-lainnya.

Pada suatu saat di sore hari setelah beberapa hari atau minggu letusan Gunung Agung, ada sekelompok orang dengan tertatih-tatih datang ke Balai Banjar Kawan yang berlokasi persis di depan Rumah Sakit Umum Bangli (saat ini di jalan Kusumayudha Bangli). Setelah saya amati ternyata kebanyakan dari mereka menderita luka bakar seperti kaki melepuh dan ada juga yang sampai ke perut dan pinggang. Keadaan mereka sangat mengenaskan.

Tidak berselang beberapa lama, beberapa kelompok orang yang terdiri anak-anak, dewasa dan orang tua laki dan perempuan juga masuk ke balai banjar.

Pada saat itu balai Banjar Kawan hanya terdapat dua bangunan yang melajur ke barat di tepi jalan dan yang satu lagi bangunan yang sama memanjang dari utara ke selatan. Bangunan tersebut terdiri dari 8 pilar dengan kontruksi bangunan ada balai-balainya yang menyatu dengan pilar-pilar bangunan. Di balai-balai tersebutlah kelompok orang yang akhirnya saya tahu adalah pengungsi dari daerah terlanda lahar letusan Gunung Agung dibaringkan.

Setelah beberapa saat mereka berbaring di balai banjar kemudian dibawa satu persatu ke Rumah Sakit Umum Bangli yang ada persis di depan sebelah selatan balai banjar Kawan.

Perasaan saya sangat miris dan sedih melihat kondisi mereka. Kebanyakan dari mereka mengalami luka bakar akibat terkena lahar panas yang melanda rumah atau desa mereka.

Yang luput dari pengamatan saya adalah mereka dari desa mana, kapan kejadiannya dan bagaimana mereka semua bisa sampai di Bangli. Sungguh memprihatinkan, karena kebanyakan dari mereka mengalami luka bakar yang cukup serius.

Walaupun sudah sebagian besar dibawa ke rumah sakit namun masih banyak yang tetap terbaring di balai banjar. Hal tersebut dikarenakan ruangan yang tersedia di rumah sakit tidak mencukupi.

Beberapa waktu kemudian mulai ada bantuan-bantuan yang masuk baik dari pemerintah pusat di Jakarta maupun organisasi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) atau negara asing lainnya. Bantuan pada umumnya berbentuk kebutuhan pangan seperti gandum dalam kemasan 50 kilogram, jagung dalam kemasan 50 kilogram, ikan asing dalam kemasan kotak kayu, susu serbuk dalam kemasan 25 kilogram dan 5 kilogram, selimut warna abu-abu dan "zebra", obat-obatan dan kebutuhan lainnya.

Suasana pada saat itu makin hari semakin mencekam. Hari-hari senantiasa diwarnai dengan hujan abu yang sesekali diselingi dengan hujan pasir. Terkadang pula terjadi hujan air rintik-rintik, namun hujan ini bukan hujan air seperti biasa namun hujan ini bisa mengganggu kesehatan khususnya gangguan pada kulit karena air hujan ini bisa membuat kulit gatal-gatal.

Kondisi alam seperti ini membuat masyarakat menjadi terhalang dalam melakukan kegiatan mereka masing-masing. Yang paling terpukul dengan kondisi alam seperti ini adalah di bidang pertanian dimana terjadi gagal panen dimana-mana dan malah banyak petani tidak bisa bercocok tanam karena areal persawahan atau tegalan diterpa dengan pasir dan abu.

Daerah-daerah yang terdampak langsung dari letusan Gunung Agung waktu itu adalah daerah Karangasem, Klungkung, Singaraja, Bangli, Gianyar, Badung (masih jadi satu dengan Denpasar), Tabanan, dan Jembrana. Daerah yang paling parah terkena dampaknya adalah Karangasem dimana sebagian besar wilayahnya yang ada di seputar lereng gunung tertimbun dengan lahar panas. Namun demikian selama letusan terjadi yang berlangsung selama berbulan-bulan juga menimbulkan dampak di wilayah hilir.

Aliran lahar yang panas ini merusak fasilitas perkantoran, jalan, dan jembatan serta rumah-rumah penduduk. Banyak sekali wilayah-wilayah permukiman yang tertimbun dengan bahan-bahan atau material vulkanik.

Begitu juga halnya yang terjadi di wilayah Klungkung. Wilayah aliran Tukad Unda yang menjadi daerah aliran lahar panas tertimbun seperti halnya yang terjadi dengan Sungai Unda yang merupakan sungai terbesar dan terpanjang di bali menjadi dangkal permukaannya. Badan sungai menjadi melebar karena timbunan material vulkanik.

Banyak desa wilayahnya tertimbun lahar dan begitu juga ladang masyarakat yang tertimbun lahar. Seingat saya aliran lahar di sepanjang Tukad atau sungai Unda menimbun dasar sungai sehingga menjadi sangat dangkal dibandingkan sebelumnya.

Aliran lahar juga menghantam jembatan gantung terpanjang di Bali yang merupakan peninggalan jaman Belanda terputus sehingga menghambat arus lalu lintas dari Karangasem dan Lombok menuju Denpasar dan Bali bagian barat. Begitu juga hamparan sawah ladang dan pemukiman yang ada di wilayah Sampalan, Gunaksa dan galiran Kabupaten Klungkung yang menghampar di sebelah selatan jalan raya antara Desa sampalan dan Kusamba tertimbun material vulkanik yang dibawa oleh derasnya aliran lahar panas dari letusan Gunung Agung.

Kalau dahulu sebelum Gunung Agung meletus saya masih ingat ketika diajak pulang kampungnya ibu saya di Subagan Karangasem, ketika melintas di jalan antara Desa Sampalan dan dan Kusamba adalah jalur yang paling saya senangi. Karena sepanjang jalan itu pemandangannya sangat menawan hati.

Hamparan sawah yang ada di sebelah selatan jalan dengan permukaannya kurang lebih 3 meter di bawah permukaan jalan raya dan menghampar luas sampai seolah-olah menyentuh bibir pantai menjadikan pemandangan bak lukisan alam yang menakjubkan.

Dimana ada perpaduan pemandangan sawah yang membentang luas dengan birunya air laut nan jauh di ujung selatan.

Apa yang terjadi saat Gunung Agung meletus adalah suatu keadaan alam yang sangat ajuh berbeda dimana pemandangan alam yang indah itu telah berubah menjadi timbunan material vulkanik yang pada prosesnya dulu membuat banyak sekali masyarakat menderita.

Namun pada era tahun 1980 an wilayah-wilayah yang terdampak seperti sampalan, Gunaksa dan Galiran disebut oleh masyarakat sebagai "tambang emas hitam". Dimana masyarakat setempat memanfaatkan timbunan material vulkanik sebagai satu komoditi yang mempunyai nilai ekonomis tinggi.

Load More