Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Senin, 08 November 2021 | 15:47 WIB
Anak-anak penjual tissue yang ditemui di sepanjang jalan Teuku Umar, Denpasar, Bali, Minggu (8/11/2021) . [Foto SuaraBali.id/ Imam Rosidin]

SuaraBali.id - Siang hari ini di pinggir Jalan Teuku Umar, Denpasar, Bali, Minggu (7/11/2021) sinar matahari terasa amat terik. Di cuaca yang belakangan kerap berubah-ubah ini, terlihat tiga anak duduk melingkar di trotoar pinggir jalan. 

Mereka bercengkrama dan saling bercanda satu sama lain seolah tak peduli dengan cuaca dan polusi dari asap kendaraan bermotor di dekatnya.

Mereka berada di jalanan sambil membawa sekeranjang tissue dan masker untuk dijual kepada warga yang melintas. Sayangnya, saat ditanya dari mana dan sejak kapan berjualan di pinggir jalan mereka enggan memberi jawaban.

Tiga anak tersebut merupakan potret pekerja anak di bawah umur di Bali. Persoalan ini dari tahun ke tahun terus ada, tak kunjung terselesaikan bahkan sering ditemui semenjak pandemi Covid-19 merebak.

Komisi Penyelenggara Perlindungan Anak Daerah (KPPAD) Bali pun menyoroti adanya pekerja anak di jalanan Bali ini. Sebab hampir di setiap Kabupaten dan Kota di Bali ditemukan anak-anak yang bekerja di jalan.

"Hampir di seluruh Bali ada anak yang bekerja di jalanan, terutama di Denpasar,  Gianyar, Badung, Tabanan," kata Komisioner KPPAD Bali Divisi Informasi dan Sosialiasi Bidang Pendidikkan Kebudyaaan, I Made Ariasa di Denpasar, Bali, Senin (8/11/2021).

Menurutnya, ekploitasi ini merupakan bentuk perlakuan terburuk bagi anak. Sebab di usia mereka harusnya masih bermain, belajar, dan sekolah.

Ia mengatakan bahwa KPPAD Bali juga telah bertemu dengan sejumlah pekerja anak dan orangtuanya ini. Menurutnya, mereka datang dari daerah asal lalu mengontrak rumah dan kos di sekitar wilayah yang ditargetkan.

"Mereka bekerja sesuai waktu, mereka bersekolah dan siang jualan," kata dia.

Menurutnya akar masalah dari fenomena ini adalah kondisi ekonomi orangtua. Kemudian keengganan orangtua memberikan pendidikan yang layak pada anaknya.

"Secara ekonomi tak mampu. Kedua tak punya niat besar sekolahkan anaknya," kata dia.

Sedangkan Ketua KPPAD Bali Ni Luh Gede Yastini mengatakan sebagian besar anak yang bekerja di jalan berasal dari Karangasem. Mereka beroperasi di daerah kantong pariwisata dan ekonomi seperti Badung, Denpasar, dan Gianyar.

Terkait jumlah, pihaknya tak memiliki angka pasti. Namun pada 2013 silam pernah diadakan pendataan yang angkanya mencapai 200 anak hanya di Kota Denpasar. Ia memperkirakan pada 2021 ini meningkat dua kali lipat.

"Kami pengawasan dan mendorong kebijakan bagaimana mengurangi pekerja anak ini. Menghapus pekerja anak dan perlindungan," kata dia.

Terkait persoalan ini, KPPAD memberikan rekomendasi yakni bupati/walikota se-Bali mengintensifkan pengawasan aktivitas anak di jalan. Lalu, perlunya kerjasama instasi dan peran warga untuk pemenuhan hak anak.

Adanya regulasi hukum baik hukum positif dan adat untuk mengatasi masalah pekerja anak.

"Jika langkah humanis tak efektif, maka perlu langkah hukum. Kemudian jika menerapkan hukum positif maka perlu disiapkan sarana penunjangnya," kata dia.

Sebelumnya, Wakil Gubernur Bali Tjokorda Oka Artha Ardhana Sukawati atau Cok Ace juga menyoroti maraknya pekerja anak-anak di jalan. Jumlahnya semakin meningkat ketika pandemi Covid-19.

"Selama Covid-19 ini kalau kita (lihat) di perempatan-perempatan, di traffic light makin banyak. Dan ini menjadi PR bersama untuk harus diatasi ada persoalan apa di balik itu semua," katanya usai pelantikan anggota KPPAD Bali, Kamis (28/10/2021) lalu.

Ia berujar bahwa anak-anak turun ke jalan sudah ada sebelum pandemi Covid-19. Namun saat ini jumlahnya semakin banyak.

Ia meminta semua pihak terlibat menyelesaikan persoalan anak-anak yang bekerja di jalan. Kemudian ada penelitian dan kajian terkait persoalan tersebut.

"Sebenarnya, kalau mau kita tuntas selesaikan apa akar persoalannya. Kasihan anak-anak kita, mau jadi apa mereka nanti," kata dia.

Kontributor : Imam Rosidin

Load More