Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Senin, 20 September 2021 | 19:40 WIB
Nasi jinggo atau jango, alias jenggo [Beritabali.com].

SuaraBali.id - Ada yang menyebut nasi jenggo, ada yang menyatakan nasi jinggo, sampai nasi jenggot. Antara strategi pemasaran hingga kisah seru pengisi perut saat lapar, utamanya di malam hari ini telah menjadi bagian keseharian warga setempat sampai para pelancong.

Dikutip dari Beritabali.com, jaringan SuaraBali.id, nasi jinggo termasuk dalam kuliner khas Bali. Wisatawan yang datang ke Bali juga kerap mencobanya.

Menurut pemerhati kuliner Bali, Ketut "Gogonk" Pramana, sejarah nasi jinggo berawal dari kawasan Suci, Kota Denpasar. Lokasi ini kini menjadi sentra penjualan perhiasan emas dan parkir bawah tanah.

Di akhir 1970-an, tempat ini adalah terminal angkut khusus untuk bemo roda tiga. Namanya Penambangan Suci.

Baca Juga: Wisata Bali: Pengelola di Karangasem Menyambut Baik Pembukaan Kembali Tempat Pelancongan

"Kala itu, pada malam harinya, Terminal Suci dipakai warga sekitar sebagai pasar senggol. Area untuk menjual beraneka makanan dan minuman. Di salah satu sudut Senggol Suci, ada dua perempuan yang menjual nasi bungkus siap saji dengan ukuran mini," kisah Ketut Gogonk.

Nasi bungkus ukuran mini berisi lauk serundeng kacang, ayam siwir (ayam suwir), tempe goreng, dan yang tak terlupakan adalah sambal tomat pedas.

Nasi dan lauk itu dibungkus daun pisang beralas secarik koran bekas dan diikat pakai karet gelang.

Warung ini adalah satu-satunya tempat di mana nasi bungkus seperti itu bisa ditemui di seantero Denpasar.

Dua perempuan tadi menjual beberapa keranjang nasi bungkus mini setiap malamnya. Kebanyakan pelanggannya adalah anak-anak muda yang suka gaul di malam hari.

Baca Juga: Wisata Bali: Wagub Cok Ace Rancang Skema Essential Travel untuk Turis Asing

Nasi bungkus mini dengan cita rasa pedas ini bisa dinikmati di tempat atau dibawa pulang. Khusus untuk yang dibawa pulang, dua penjual perempuan itu tidak lupa menambahkan ekstra sambal pedas sebagai bonus.

Di sekitar tahun yang sama, di salah satu bioskop ternama di Denpasar sedang diputar film cowboy yang dibintangi Franco Nero. Judulnya adalah "Jango" (baca jenggo).

Film ini wajib ditonton oleh anak muda kala itu. Entah siapa yang memulai, nasi bungkus mini di Terminal Suci Denpasar tadi kemudian diberi nama "Nasi Jango", karena nasi bungkus ini dianggap mewakili gaya cowboy Franco Nero. Kurang lebih istilah cowboy kala itu adalah "keren merakyat " alias cool.

Setelah Terminal Suci dibangun dan kondisinya berubah seperti sekarang, dua perempuan penjual nasi jenggo itu tak ada kabarnya. Tahun 1980-an cerita nasi jinggo kemudian berpindah ke Jalan Gajah Mada Denpasar.

Kali ini nasi jinggo versi Jalan Gajah Mada dibungkus daun pisang segar tanpa koran. Isinya kurang lebih sama seperti nasi jinggo versi Terminal Suci.


"Kala itu anak muda Denpasar tidak menamakan nasi bungkus tersebut dengan nasi Jango atau jinggo, tapi nasi "Gang Bronx", dan kebetulan nasi itu dijual di gang-gang yang ada di depan Pasar Kumbasari. Istilah Bronx diambil dari film "Breakdance" yang berkisah tentang kehidupan anak muda di daerah Bronx Amerika Serikat," lanjut Ketut Gogonk.

Kini nasi jinggo sudah lebih berkembang. Isinya pun lebih variatif. Ada nasi jinggo babi kecap, nasi jinggo sela (ketela), nasi jinggo rendang, nasi jinggo super dan lainnya.

Penulisan jango turut berubah. Mungkin atas pertimbangan strategi pemasaran sehingga ada yang menulis nasi Jenggo, Jinggo, bahkan nasi Jenggot.

Load More