Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Sabtu, 19 Juni 2021 | 17:02 WIB
Ritual Bali penolak bala termasuk wabah sudah dikenal dari masa lampau [BeritaBali.com].

SuaraBali.id - Di masa lalu, bila "grubug" atau gering terjadi, masyarakat Bali enggan keluar rumah atau bepergian. Ritual-ritual penolak bola pun digelar untuk mengusir "grubug". Rupanya cara mencegah penyebaran ini sudah ada sejak dahulu kala. Bisa dijadikan wacana dan diaplikasikan segera untuk kondisi pandemi terkini.

2019 Novel Coronavirus atau virus Corona benar-benar menyita perhatian dunia. Selain dampaknya sangat serius, penyebarannya begitu cepat lintas negara, dan menimbulkan kekhawatiran.

Virus Corona yang penyakitnya disebut Covid-19 ini mengingatkan kepada adanya virus SARS atau flu burung beberapa tahun sebelumnya.

Dipetik BeritaBali.com, jaringan SuaraBali.id, dari Balisaja.com, fenomena wabah yang menelan korban dalam jumlah besar kerap muncul sepanjang sejarah.

Baca Juga: Wisata Bali: Menunggu Pintu untuk Wisman Dibuka Kembali

Di Bali, fenomena ini biasa disebut "grubug" atau "gering sasab".

Di masa lalu, bila "grubug" atau gering terjadi, masyarakat Bali enggan keluar rumah atau bepergian. Ritual-ritual penolak bala pun digelar untuk mengusir "grubug".

Sejarah Bali mencatatkan banyak cerita "grubug". Di sejumlah teks-teks tradisional Bali diceritakan pulau ini beberapa kali dihantam "grubug".

Tahun 1521 Saka atau 1599 Masehi, Bali diserang wabah penyakit lepra. Tiga tahun kemudian yakni 1524 Saka atau 1602 Masehi, penyakit lepra kembali mengepung Bali.

Lontar-lontar menyebutnya sebagai "hananing tumpur agung" yang artinya penyakit lepra (tumpur) yang menyebar semakin luas.

Baca Juga: Wisata Bali: Misteri Jendela Istana Tampaksiring, Kesukaan Presiden Sukarno Bangun Pagi

Antropolog sekaligus peneliti sejarah asal Belanda, Henk Schulte Nodholt dalam bukunya, "The Spell of Power: Sejarah Politik Bali 1650-1940" juga membeberkan sejumlah fenomena pennyebaran penyakit yang mematikan di Bali sekitar abad ke-19.

Mengutip data dari sejumlah sumber, Henk menyebut kejadian penyakit cacar yang berjangkit di Badung sekitar 1850 menewaskan sekitar 4.000 orang. Malah, penyakit cacar ini disebut-sebut menyebar ke Klungkung dan Mengwi.

Sebelas tahun kemudian, penyakit cacar juga menyebar ke Klungkung. Hanya tak diungkap berapa jumlah korban meninggal akibat penyeberan penyakit itu.

Setelah Klungkung, beber Henk, menyusul Mengwi yang terjangkit penyakit kolera dan cacar sekitar dua tahun kemudian. Sekitar 1868, penyakit kolera dan disentri yang masuk dari Buleleng menelan korban jiwa sedikitnya 2.000 orang.

Pada 1871, penyakit cacar menyerang wilayah Bali Selatan. Kali ini korbannya terbilang cukup tinggi yakni sekitar 15.000-18.000 orang meninggal.

Setahun berikutnya, yakni 1873-1874 penyebaran penyakit cacar berlanjut ke Mengwi. Sekitar 3.000 orang disebutkan meninggal dalam satu bulannya.

Sementara di Desa Sempidi, salah satu desa di wilayah kekuasaan Mengwi, sekitar 700 dari 1000 penduduknya dikabarkan meninggal dunia akibat serangan cacar mematikan itu.

Tak berhenti sampai di sana, setahun kemudian penyakit kolera menyerang Badung dan Mengwi. Hal ini digambarkan sumber-sumber Belanda sebagai suatu peristiwa kematian yang mengerikan.

Ujung timur Bali yakni Karangasem dan Klungkung juga mendapat serangan penyakit cacar di 1883. Serangan penyakit mematikan ini juga menyebar ke daerah Mengwi yang membuat kerajaan itu menjadi bulan-bulanan penyakit mematikan.

Dua tahun berikutnya, seluruh wilayah Bali Selatan kembali terjangkit penyakit cacar. Parahnya, penyebaran penyakit cacar ini juga disusul dengan penyebaran penyakit kolera.

Tiga tahun kemudian, seiring terjadinya gempa bumi, penyakit kolera kembali menghantam daerah Bali Selatan. Penduduk yang mati mencapai ribuan orang.

Terjadinya serangan cacar dan kolera ini tak pelak menimbulkan kekacauan. Terlebih lagi bencana tanah longsor, gagal panen dan kekeringan juga turut memberikan dampak buruk. Situasi ini membuat peperangan antarkerajaan untuk memperebutkan suatu daerah kekuasaan sempat terhenti sejenak.

Di awal abad ke-20, manakala hegemoni kekuasaan Belanda mulai ditancapkan, "grubug" juga kembali menghampiri Bali.

Epidemi penyakit yang sering mengganggu kesehatan masyarakat saat ini yakni disentri dan malaria yang terjadi pada masyarakat Karangasem.

Ida Bagus Gde Putra dalam tulisannya berjudul "Perubahan Perilaku Penanggulangan Kesehatan Masyarakat di Bali pada Medio Abad ke-19 dan Awal Abad ke-20" yang dimuat dalam jurnal ilmu sejarah Tantular Nomor 1 tahun 2004 menyebutkan terjangkitnya wilayah Bali dengan wabah penyakit ini disebabkan terjadinya musim kemarau di beberapa daerah.

Di Gianyar, epidemi malaria dan disentri dari 1933 - 1934, menurut IB Putra, jarang terjadi karena Raja Gianyar telah melakukan vaksinasi terhadap rakyatnya melalui kerja sama dengan pemerintah Belanda.

Tingginya penyebaran penyakit lepra sampai memaksa pemerintah Belanda mendirikan leprasium di daerah Siyut untuk menampung dan merawat sebanyak 144 pasien lepra. Penderita lepra yang dirawat di Desa Siyut bukan hanya dari kalangan masyarakat Gianyar saja, akan tetapi penderita juga berasal dari Klungkung yang berbatasan dengan desa itu. Belanda memberikan subsidi biaya perawatan sebesar f 2,50 per bulan dan kekurangannya ditanggung kas daerah di Klungkung dan Gianyar.

Di Badung juga terdapat 300 penderita lepra yang masih terisolasi. Pendirian tempat perawatan penderita lepra di Badung masih mengalami hambatan. Hal ini terutama akibat persepsi masyarakat yang menganggap orang yang menderita penyakit lepra sebagai orang yang harus disisihkan. Mereka disebut mengidap "sakit gede". Ketika mereka meninggal makamnya pun dibedakan.

Load More