Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Jum'at, 12 Maret 2021 | 09:13 WIB
Fahri Hamzah pamer lobster sebesar bayi atua induk lobster.

SuaraBali.id - Fahri Hamzah pamer lobster sebesar bayi atua induk lobster. Niat banggakan tak tangkap benih lobster, Fahri Hamzah malah diceramahi Pudjiastuti.

Fahri Hamzah pamer lobster sebesar bayi itu di akun Twitternya beberapa hari lalu.

"Apa kabar bu @susipudjiastuti sehat selalu... ini bukan baby lobster tapi lobster sebesar baby...(berat: 5,1 Kg)," kata Fahri Hamzah.

Lalu tweet Fahri Hamzah itu dikomentari Susi Pudjiastuti.

Baca Juga: Susi Pudjiastuti Mendadak Jadi Koki, Lelaki Ini Bikin Penggemar 'Meleleh'

"Seharusnya tidak ditangkap karena itu adalah Induk yang pasti sangat produktif," kata Susi.

"Semakin Lobster itu besar semakin produktif dia sebagai induk Australia hanya boleh tangkap yang ukuran 1 pound= 454 gram sd. 800 gram/per ekor; bahkan kalau tidak salah cuma jantan saja yang boleh. Indonesia Bibitnya yang baru 2 grm/ ekor dan induknya yang paling gede pun ditangkap," ceramah Susi Pudjiastuti.

Kementerian Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi (Kemenko Marves) mengakui dahulu turut mendukung kebijakan ekspor benih lobster karena kebijakan tersebut diklaim akan mendorong budidaya lobster dalam negeri.

Namun, belakangan, setelah kasus suap ekspor benih lobster terkuak, kementerian yang dipimpin Luhut Binsar Pandjaitan itu mengakui banyak persyaratan yang dilanggar dan dinilai justru turut "membunuh" pembudidaya lokal.

"Kenapa dulu kami mendukung, karena waktu itu disampaikan ada kriteria-kriteria untuk bisa ekspor. Misalnya, harus punya budidaya, dan hasil budidayanya sebagian dia lepasliarkan. Nah ternyata hasil survei kami, tidak seperti itu kenyataannya," kata Deputi Bidang Koordinasi Sumber Daya Maritim Kemenko Marves Safri Burhanuddin dalam konferensi pers virtual, Selasa.

Baca Juga: Hari Perempuan Dunia, Jokowi Kena Sentil Warganet: Jewer Kaesang, Pak..

Safri menuturkan, kini pihaknya mendukung penuh larangan ekspor bening benih lobster (BBL) atau benur yang telah ditetapkan Menteri Kelautan dan Perikanan, meski kebijakan tersebut masih bersifat sementara.

Pasalnya, jika kompetitor Indonesia diberi benih yang banyak, otomatis mereka akan mengontrol pasar. Dengan kondisi tersebut, ketika Indonesia telah berhasil melakukan budidaya dan ingin mengekspor lobster hasil budidaya, Indonesia tidak lagi memiliki pasar tersebut.

"Ingat, yang makan lobster itu terbatas, hanya di daerah tertentu dan di hari besar tertentu. Kita kan mau mengurangi produksi kompetitor kita. Kalau kita bisa kurangi BBL kita dikirim, otomatis kita bisa kontrol pasar," katanya.

Safri pun menyesalkan kebijakan yang lalu, yang mengizinkan ekspor benur. Ia mengaku persetujuan oleh Menko Marves Luhut Binsar Pandjaitan pun dilakukan atas kajian KKP bahwa ekspor dilakukan selama pelepasannya masih terkontrol.

"Beberapa persyaratan yang dilakukan, hampir semuanya itu banyak yang dilanggar. Sehingga kita katakan, kalau begini caranya memang kita membunuh pembudidaya kita karena kita utamakan ekspor BBL," katanya.

Safri mengatakan, Kemenko Marves mendukung penuh larangan ekspor benur. Ia menegaskan, budidaya lobster harus diperkuat guna memperkuat pasar ekspor lobster. Pemerintah akan melakukan pengembangan lobster secara terpusat di salah satu wilayah di Indonesia guna menekan biaya produksi dan mendorong daya saing hasil budidaya lobster lokal.

Ia menambahkan, untuk melindungi sumber daya lobster Indonesia, kebijakan moratorium ekspor benur bisa dilakukan sambil menunggu hasil budidaya yang dilakukan di dalam negeri. Soal waktunya, Safri menilai kemungkinan butuh waktu satu hingga dua tahun untuk bisa menghasilkan lobster budidaya yang siap diekspor, baru kemudian dievaluasi kembali kebijakan terkait ekspor benur.

"Jadi kita perkuat mereka (budidaya), kita kasih waktu mereka berkembang, kita lindungi dengan tidak memberikan ekspor BBL sehingga waktu (lobster) besar, lawannya (kompetitor Indonesia) lemah karena dia (kompetitor) tidak punya banyak stok," katanya.

Load More