Scroll untuk membaca artikel
Dythia Novianty
Rabu, 10 Maret 2021 | 09:20 WIB
Pengamat spiritual sekaligus sesepuh perguruan Sandhi Murthi, Ngurah Harta. [BeritaBali/Ist]

SuaraBali.id - Pengamat spiritual sekaligus sesepuh perguruan Sandhi Murthi, Ngurah Harta menjabarkan perbedaan Sulinggih (pemuka agama Hindu) dulu dan sekarang.

Zaman sekarang, Sulinggih tidak seangker pada dulu ketika dirinya masih anak-anak.

Sekarang, kata dia, Sulinggih perilakunya hanya action saja untuk tujuan tertentu yang tidak bisa didapatkan ketika sebelum menjadi Sulinggih.

"Masyarakat kita cepat sekali kagum melihat kegagahan yang dipoles tanpa dasar perilaku yang benar, sehingga banyak mengklaim dirinya menjadi sesuatu yang dikhayalkan karena mendengar cerita dan melihat perlakukan masyarakat terhadap Sulinggih yang sangat dihormati sekali," jelasnya dilansir laman BeritaBali, Rabu (10/3/2021).

Baca Juga: Apa Itu Dulang? Alat Pembawa Makanan Khas Daerah Bali

Berbeda dengan dulu, menurutnya, waktu zaman kerajaan orang yang akan mediksa menjadi Sulinggih harus menghadap Raja dan sembahyang di tempat persembahyangan Raja.

Kalau sudah direstui Raja, beliau memerintahkan desa asal dari calon Sulinggih untuk membuat panitia pediksan Sulinggih. Sehingga Sulinggih itu sisyanya adalah warga desa tempatnya didiksa dengan sepengetahuan Raja.

"Sekarang di zaman republik ini posisi raja itu ada pada Parisadha, yang duduk di Parisadha harus memahami tata kelola tradisional dengan pemahaman adat istiadat dan budaya, baik tentang diksa pariksa siapa guru waktu calon sulinggih dan siapa guru diksanya dan panitia dari desa adatnya juga harus jelas," tegasnya.

Sehingga ada yang mempertanggungjawabkan perilaku calon Sulinggih saat sudah menjadi Sulinggih.

Penjabaran ini muncul setelah polemik akhir-akhir ini tentang oknum Sulinggih yang dikaitkan dengan kasus pelecehan seksual.

Baca Juga: Sulinggih di Bali Laporkan Akun Medsos ke Polisi soal Isu Pelecehan Seksual

Menurutnya hal ini merupakan simbol dari Kaliyuga, dalam tutur orang tua dulu dimana kala orang berlomba-lomba ingin menjadi Sulinggih itu adalah simbol Kaliyuga sudah di ambang pintu.

Menurutnya, semua pihak harus evaluasi diri atau Mulat Sarira. Ia menyarankan agar Sulinggih membenahi diri dan jangan hanya ingin diakui oleh masyarakat bahwa sudah suci dengan didiksa menjadi sulinggih.

Menurutnya, perilaku yang harus dibenahi dengan tingkah laku positif, bukan simbol yang dijalankan.

"Kalau simbol dijalankan tapi perilakunya seperti raksasa, itu artinya apa?" pungkasnya.

Load More