SuaraBali.id - Bertandang ke Desa Blimbingsari, Kecamatan Melaya, Kabupaten Jembrana, Bali, suasana desa yang rapi, hijau, lagi bersih seolah memberikan ucapan selamat datang. Taman-taman di tepian jalan desa dan di rumah penduduk tertata asri, dan tidak tampak sampah berserakan sama sekali.
Di depan kantor Kepala Desa, terdapat Gereja Kristen Protestan di Bali, Desa Blimbingsari. Berada di tengah kawasan permukiman warga desa pemeluk Kristiani, tempat beribadah ini adalah gereja tertua di Bali, sekaligus paling unik di dunia.
Berbeda dengan ragam gereja khas negeri empat musim, bangunan satu ini kental dengan sentuhan arsitektur khas Bali. Mungkin bisa disandingkan bersama Gereja Katolik Ganjuran di Daerah Istimewa Yogyakarta, yang dibangun berdasarkan kearifan lokal. Serta Gereja Pohsarang di Kediri.
Dikutip dari BeritaBali.com, jaringan SuaraBali.id, gereja di Desa Blimbingsari ini dibangun menyerupai pura. Sebelum 1970-an, warga setempat menyebutnya "Pura Gereja".
Awalnya, gereja di Desa Blimbingsari dibangun dengan gaya arsitektur Eropa. Namun pada 1971, gereja rusak akibat gempa bumi. Lantas dibangun ulang dalam citarasa kearifan lokal.
Struktur bangunan ini mempunyai struktur yang sama dengan bangunan pura di Bali. Yaitu ada halaman luar atau jaba sisi, ada bangunan gapura, serta tempat mendaraskan doa.
Keunikannya, ruang doa dibuat terbuka seperti bangunan pura di Bali, tanpa tembok penyekat.
Semakin selaras dengan peruntukan umat, pada dinding gereja ditatahkan ukiran ornamen khas Bali. Seluruhnya dikerjakan tukang ukir asal Ubud, sedangkan materi diambil dari Alkitab. Seperti saat Yesus membasuh kaki para muridnya sebagai bagian sebelum Perjamuan Malam Terakhir. Dalam ukiran itu, Yesus digambarkan seperti orang Bali.
Lantas keunikan lainnya, adalah saat beribadat para jemaat mengenakan pakaian adat Bali, menggunakan bahasa Bali. Serta budaya memenjor (membuat penjor) dan membuat makanan lawar Bali sebelum perayaan Hari Natal.
Baca Juga: Setelah Bali, Kemenkes Siapkan Vaksinasi Covid-19 Drive Thru di Jakarta
"Bila di gereja umumnya ada lonceng sebagai tanda kebaktian akan dimulai, namun di gereja ini kami gunakan kulkul atau kentongan, bukan lonceng," jelas salah satu tokoh Desa Blimbingsari, Gede Sudigda, kepada BeritaBali.com.
Ia juga menambahkan bahwa keberadaan Desa Blimbingsari berawal pada 1939.
"Saat itu, para tetua kami, semua datang dari Denpasar pada 1939. Setelah survei dan mendapat perizinan, desa ini mulai dibangun. Dulunya hutan lebat yang disebut Alas Angker, banyak satwa buas seperti ular besar, macan, dan aneka jenis buas lainnya di hutan," kata Gede Sudigda.
Para tetua Desa Blimbingsari kemudian mulai merambah hutan. Mereka adalah gelombang pertama transmigran lokal yang berjumlah 30 orang. Usai babat alas, para perintis desa kemudian mulai membangun rumah, pekarangan, kebun, membuat jalan desa, serta gereja.
"Tokoh perintis desa ini adalah Bapak Made Regug, Pendeta Made Rungu, dan beberapa orang lainnya. Setelah survei, kemudian mereka meminta izin kepada Sedahan Agung waktu itu, untuk membuka hutan seluas 450 hektar. Sementara gerejanya dibangun di atas lahan seluas 20 are," jelasnya.
"Orang tua kami dulu menyebutnya dengan "Pura Gereja", karena mirip bangunan pura di Bali," komentar Gede Sudigda.
Desa Blimbingsari memiliki luas 450 hektar, memiliki penduduk sejumlah 270 Kepala Keluarga (KK) yang semuanya Kristiani. Warga masih menggunakan bahasa Bali serta nama-nama Bali seperti Wayan, Gusti, Made, Ketut, dan seterusnya.
Dewan Gereja Dunia pernah menginap di desa itu pada 2009 selama empat malam.
"Presiden Dewan Gereja Dunia waktu itu mengatakan, gereja ini adalah salah satu gereja terunik di dunia, yakni dengan arsitek Bali, dan gereja yang terbuka tidak ada temboknya. Susunan bangunan juga sama dengan susunan pura," pungkas Gede Sudigda.
Berita Terkait
-
Melanie Subono Sentil Keras Mason Elephant Park Bali: Gajah Ditunggangi dan Dijadikan Kanvas Lukis
-
Niatnya Bikin Konten Nakal di Bali, Bintang OnlyFans Ini Malah Berakhir Didenda dan Dideportasi
-
Melalui Kolaborasi Global di Bali, BKSAP Dukung Penguatan Diplomasi Ekonomi Biru Berkelanjutan
-
Hey Bali Tawarkan Penitipan Barang Gratis Selama 4 Jam, Strategi Bangun Kepercayaan Wisatawan
-
Kemenpar Klarifikasi Isu Larang Airbnb, Ini Fakta Terkait Penataan OTA di Bali
Terpopuler
- 4 Model Honda Jazz Bekas Paling Murah untuk Anak Kuliah, Performa Juara
- 7 Rekomendasi HP RAM 12GB Rp2 Jutaan untuk Multitasking dan Streaming
- 4 Motor Matic Terbaik 2025 Kategori Rp 20-30 Jutaan: Irit BBM dan Nyaman Dipakai Harian
- BRI Market Outlook 2026: Disiplin Valuasi dan Rotasi Sektor Menjadi Kunci
- Pilihan Sunscreen Wardah yang Tepat untuk Umur 40 Tahun ke Atas
Pilihan
-
Timnas Indonesia U-22 Gagal di SEA Games 2025, Zainudin Amali Diminta Tanggung Jawab
-
BBYB vs SUPA: Adu Prospek Saham, Valuasi, Kinerja, dan Dividen
-
6 HP Memori 512 GB Paling Murah untuk Simpan Foto dan Video Tanpa Khawatir
-
Pemerintah Bakal Hapus Utang KUR Debitur Terdampak Banjir Sumatera, Total Bakinya Rp7,8 T
-
50 Harta Taipan RI Tembus Rp 4.980 Triliun, APBN Menkeu Purbaya Kalah Telak!
Terkini
-
Batik Malessa, Dari Kampung Tipes Memberdayakan Perempuan dan Menggerakkan Ekonomi Keluarga
-
BRI Bersama BNI dan PT SMI Biayai Proyek Flyover Sitinjau Lauik Senilai Rp2,2 Triliun
-
Rekomendasi Rental Motor Murah di Bali Mulai Rp50 Ribu
-
5 Rekomendasi Penginapan Murah Meriah di Ubud Bali
-
7 Tempat Wisata Wajib Dikunjungi Saat Pertama Kali ke Bali