Scroll untuk membaca artikel
Dythia Novianty
Senin, 01 Maret 2021 | 18:44 WIB
Perjalanan darat dari Jakarta ke Bali pada 1964. [BeritaBali/Ist]

"Jalur antara Semarang dan Surabaya pada awal 1960-an tidak dapat digunakan akibat beberapa tanah longsor, kami harus berbelok ke arah selatan lewat Yogyakarta untuk sampai Bali," kenangnya.

Dari Surakarta (Solo) ke Madiun, sopir mengambil jalan lewat desa di Pegunungan Sarangan. Setelah menginap di Sangangan, perjalanan dilanjutkan menuju kota Surabaya dan menginap di daerah Tretes.

Keesokan paginya mereka berangkat menuju Banyuwangi untuk menyeberang ke Bali dengan kapal feri. Waktu itu jalanan di Jawa Timur sangat buruk. Ada banyak pos militer di perbatasan sepanjang jalan.

Mereka harus memutar dan menempuh perjalanan di antara perkebunan tebu. Di jalanan menuju Banyuwangi kami makin sering bertemu dengan truk yang penuh babi.

Baca Juga: Wisata Bali Akan Dibuka, Terapkan Free COVID Corridor

Babi dimasukkan sendiri-sendiri ke dalam keranjang bambu yang besar. Pada masa itu babi adalah komoditas ekspor utama dari Pulau Bali. Babi dijadikan santapan untuk orang Cina di Singapura dan Pulau Jawa.

Tiba di Bali

Geerken dan sopirnya mengalami masalah ketika menyeberang dengan kapal dari pelabuhan kecil Banyuwangi dari Jawa Timur menuju Pelabuhan Gilimanuk di Bali. Mereka menunggu lama sebelum mobil dinaikkan ke kapal dengan teriakan-teriakan.

"Begitu kapal bertolak, kami berhadapan dengan bahaya di selat ini. Ombak selat Bali tinggi. Sopir dan saya basah kuyup ketika tiba di Gilimanuk," tulisnya.

Baru berjalan beberapa kilometer, dia sudah melihat perbedaan Bali dengan Jawa. Di Bali, Jawa di sebut Jawi yang berarti jauh atau pulau yang jauh. Pemandangan sawah bertingkat-tingkat jauh lebih indah di Bali.

Baca Juga: Lakoni Uji Coba, Bali United Senang Bisa Bantu Timnas Indonesia U-23

Kehidupan di desa biasanya terpusat di bawah naungan pohon beringin suci dan batangnya lebih besar daripada pelukan 20 lelaki. Di sini mereka membeli, menawar, bergosip.

Load More