Wariga: Peta Spiritual Bali yang Mengatur Pernikahan, Pertanian, Hingga Upacara Dewa

Wariga, kalender Bali, bukan sekadar penanda waktu, tapi panduan spiritual. Kombinasi Wuku (210 hari) & Pancawara (5 hari) tentukan energi hari, pengaruhi aktivitas.

Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 31 Oktober 2025 | 20:00 WIB
Wariga: Peta Spiritual Bali yang Mengatur Pernikahan, Pertanian, Hingga Upacara Dewa
Ilustrasi pemangku di Bali [Google AI]
Baca 10 detik
  • Wariga adalah kalender tradisional Bali dengan siklus 210 hari untuk menentukan hari baik.
  • Sistem ini menggabungkan siklus 30 wuku dan 5 pancawara untuk menentukan karakter setiap hari.
  • Wariga berfungsi sebagai panduan hari baik untuk upacara, pernikahan, dan aktivitas penting lainnya.

SuaraBali.id - Di Bali, waktu tidak berjalan lurus dari detik ke menit, lalu ke hari dan tahun.

Waktu berputar dalam sebuah siklus kosmik yang agung, sebuah peta spiritual yang dikenal sebagai Wariga atau Pawukon.

Ini bukanlah kalender biasa yang hanya menandai tanggal merah.

Wariga adalah denyut nadi kehidupan, sebuah panduan suci yang menentukan kapan harus menanam, kapan harus menikah, dan kapan harus menggelar upacara untuk para dewa.

Baca Juga:Catat, Jadwal Dan Agenda Sanur Village Festival 2025 di Denpasar

Jantung dari sistem berusia ratusan tahun ini adalah perpaduan dua "roda gigi" kosmik yang berputar bersamaan: Wuku dan Pancawara.

Bayangkan Wuku sebagai 30 babak dalam sebuah siklus besar 210 hari.

Setiap babak, seperti Sinta, Landep, atau Ukir, memiliki karakter dan energinya sendiri.

Sinta adalah babak permulaan yang penuh harapan, Landep membawa berkah kesuburan, sementara Ukir memancarkan aura kreativitas dan seni.

Sementara itu, Pancawara adalah siklus lima hari yang lebih pendek Paing, Pon, Wage, Kliwon, Umanis yang mewakili "warna" atau "suasana hati" dari setiap hari.

Baca Juga:Lonceng Peringatan dari BRIN: Jawa-Bali Jadi Episentrum Krisis Kehamilan Tidak Diinginkan

Keajaiban Wariga terletak pada saat kedua roda gigi ini bertemu.

Kombinasi antara babak Wuku dan warna Pancawara menciptakan sebuah "tanda tangan" energi yang unik untuk setiap hari, seperti “Sinta Paing” atau “Landep Kliwon.”

Inilah yang dibaca oleh para tetua dan pendeta untuk menafsirkan apakah suatu hari membawa berkah atau justru potensi celaka.

Pada akhirnya, Wariga adalah cerminan filosofi hidup masyarakat Bali.

Ini adalah bukti bahwa manusia bukanlah penguasa waktu, melainkan bagian dari tarian alam semesta yang harmonis.

Dengan membaca Wariga, masyarakat Bali tidak sedang memprediksi masa depan, melainkan menyelaraskan langkah mereka dengan ritme kosmos, memastikan setiap tindakan dilakukan pada momen yang paling tepat untuk memohon restu dan perlindungan dari Tuhan.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini