Pertama, keterlibatan Pecalang (penjaga ketertiban dan keamanan adat Bali) dalam pengamanan pelaksanaan acara/upacara keagamaan, maupun peribadatan seluruh masyarakat Bali (Hindu maupun non Hindu), sehingga umat bisa melaksanakan aktifitas dengan aman dan nyaman.
Kedua, Metetulung (saling membantu), saat ada warga yang perlu bantuan, baik dalam kondisi suka maupun duka. Ketiga, budaya tradisi Ngejot (saling menghantarkan makanan saat upacara agama/keagamaan). Misalnya saat Idul Fitri, umat muslim mengantarkan makanan kepada kerabat maupun tetangga di sekitarnya. Pada saat perayaan natal, umat Kristiani mengantarkan makanan kepada kerabat maupun tetangganya, demikian sebaliknya.
Keempat, kesenian Burcek, seni Burdah dan Cekepung dari Kabupaten Karangasem, yang merupakan kolaborasi seni Burdah dari unsur Islam Melayu digabungkan dengan seni Cekepung dari unsur Hindu Bali yang telah lama dikembangkan di Karangasem.
Kelima, adanya tempat ibadah yang letaknya berdampingan, seperti di Kawasan Puja Mandala, Kongco Batur yang ada di area Pura Batur; Masjid Nurul Amin Jembrana yang berdekatan dengan Pura Majapahit Jembrana; Masjid Al-Hikmah di Jalan Soka, Desa Kesiman, Banjar Kertalangu, Kecamatan Denpasar Timur, Kota Denpasar, Bali, yang berarsitektur Bali dan nyaris tanpa kubah/menara; atau Masjid Besar Al Hidayah (Masjid Candi Kuning) di kawasan Bedugul, Kecamatan Baturiti, Kabupaten Tabanan di seberang Pura Ulundanu.
Baca Juga:Kerugian Rp 4,5 Miliar, Berkas Empat Pembobol Bank BPD Bali Cabang Badung Segera Rampung
Ya, Tri Hita Karana dan Menyama Braya yang juga dimiliki masyarakat Indonesia dalam konsep tradisi yang sedikit berbeda itu sangat menarik untuk direalisasikan masyarakat dunia, apalagi bila disosialisasikan dengan dukungan teknologi canggih dan globalisasi, sehingga menjadi sumbangsih Indonesia untuk mengembangkan dunia yang berbudaya dan berkarakter dalam kebersamaan di tengah keragaman. (Antara)