Sejarah Perang Api, Ritual Tolak Bala Umat Hindu di Mataram Menjelang Nyepi

Tradisi ini merupakan ritual tolak bala untuk mengusir wabah penyakit yang dibawa bhuta kala atau roh-roh jahat yang bersemayam di muka bumi.

Eviera Paramita Sandi
Rabu, 02 Maret 2022 | 19:30 WIB
Sejarah Perang Api, Ritual Tolak Bala Umat Hindu di Mataram Menjelang Nyepi
Perang bobok atau perang api. Tradisi tolak bala umat Hindu di Kota Mataram, NTB jelang Hari Raya Nyepi. [Suara.com / Lalu Muhammad Helmi Akbar)

SuaraBali.id - Ada yang menarik dari tradisi umat Hindu di Mataram, terutama menjelang Hari Raya Nyepi. Menjelang Hari Raya Nyepi, para pemuda dari Banjar Negarasakah dan Banjar Sweta di Cakranegara, Kota Mataram, NTB akan tenggelam dalam keseruan Perang Bobok atau Perang Api.

Perang Api ini merupakan tradisi turun-temurun yang sudah berusia ratusan tahun. Tradisi ini merupakan ritual tolak bala untuk mengusir wabah penyakit yang dibawa bhuta kala atau roh-roh jahat yang bersemayam di muka bumi dan mengganggu kehidupan manusia.

Dalam tradisi unik ini, dua kelompok pemuda saling berhadapan. Mereka “berperang” menggunakan senjata bobok (daun kelapa yang kering) yang membara. Saat bobok telah dinyalakan, para pemuda dari kedua kelompok bergerak.

Mereka putar-putarkan bobok menyala lalu pukulkan bara api itu ke kelompok lawan.

Peserta dari kedua kelompok begitu bersemangat untuk saling serang. Panasnya api dari bobok yang membara tak sedikit pun menciutkan nyali mereka.

Meskipun kegiatan ini berbau kekerasan, namun tak ada dendam di antara mereka. Setelah kegiatan selesai, para pemuda itu saling bersalaman dan berpelukan.

“Peperangan” ini justru semakin memperkukuh persaudaraan di antara mereka.

Tradisi Perang Api biasanya dilaksanakan usai pawai ogoh-ogoh, pada petang terakhir sebelum pelaksanaan catur brata penyepian. Menjelang malam, perang pun berakhir.

Bobok itu kemudian dibawa pulang untuk dibakar kembali, sebagai tanda hilangnya keburukan dan musibah di muka bumi.

"Kami bangga dengan tradisi ini," kata I Putu Lanang saat ditemui pasca-perang api pada Rabu, (2/3/2022).

Momen perang api ini, kata Lanang bisa menjadi momen penghibur. Pasalnya, pawai ogoh-ogoh belum jua diizinkan untuk dilaksanakan.

“Warga Sweta dan Negarasakah mengadakan Perang Api untuk menghilangkan buta kala, supaya warga di sini mendapatkan kesehatan dan keselamatan,” kata Lanang.

Perang Api menurutnya hanya ada di Cakranegara. Sebab, itu merupakan tradisi kampung. Bukan ajaran agama Hindu.

“Setahu saya hanya ada di sini, rutin jelang perayaan Nyepi,” katanya.

Tradisi Perang Api yang digelar tiap tahun ini digelar oleh umat Hindu di Cakranegara, Mataram, Nusa Tenggara Barat. Di masa silam, warga berperang menggunakan jerami sisa panen padi. Namun, karena sekarang sulit mendapatkan jerami, warga beralih menggunakan bobok.

Konon, tradisi ini bermula saat warga Sweta dan Negarasakah diserang wabah penyakit yang mematikan. Perang Api kemudian dilakukan untuk penolak bala dari berbagai serangan wabah penyakit.

Perang Api juga tidak dilakukan sembarangan. Warga yang ikut Perang Api harus menyiapkan diri baik-baik. Tidak punya niat buruk untuk melukai lawan saat perang. Sebab itu, sebelum perang api dimulai, bobok yang dipakai harus diperiksa terlebih dahulu, apakah di dalamnya ada benda keras atau benda tajam.

Bobok juga tidak boleh diikat menggunakan ikat tali, tapi menggunakan daun agar cepat terurai saat api mengenai tubuh lawan. Kalau diikat menggunakan plastik akan menyakiti lawan dan apinya bertahan lama mengenai kulit.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak