SuaraBali.id - Permasalahan sampah di Bali kembali mengemuka usai Pemerintah Provinsi Bali melarang pengiriman sampah organik ke TPA Suwung mulai 1 Agustus 2025.
Tanpa pusing, Koster menilai permasalahan itu bisa diatasi jika setiap desa di Bali bisa memiliki setidaknya satu teba modern.
Pasca kebijakan tersebut diberlakukan, memang terdapat beragam respons dan aksi yang ditujukan pada kebijakan itu.
Pelarangan kiriman sampah organik ke TPA Suwung itu merupakan langkah awal yang diambil Koster sebelum menutup total TPA Suwung pada akhir 2025 nanti.
Namun, Koster bukannya menerapkan kebijakan itu tanpa memberi solusi.
Dia menilai jika pembuangan sampah organik khususnya kini dapat berjalan dengan pembuatan teba modern di setiap desa.
Menurutnya, jika setiap desa di Bali memiliki setidaknya satu teba modern, masalah pembuangan sampah organik dapat diatasi.
Teba sendiri merupakan metode penampungan sampah organik dengan kearifan lokal Bali dengan membuat lubang di pekarangan yang digunakan untuk menampung sampah organik dan menjadikannya kompos.
Koster menerangkan jika sejumlah desa di Kabupaten Badung, Gianyar, dan Buleleng sudah berinisiatif membuat teba modern.
Baca Juga: Gelar Patroli WNA di Bali, Menteri Imipas : Kalau Mereka Seenaknya, Harga Diri Kita Diinjak-injak
Dia juga menjelaskan jika pembuatan teba modern juga hanya menelan biaya sekitar Rp1 juta.
“Di sejumlah desa bisa dia bikin 1 teba modern cuma Rp1 juta. Kalau memang mau, nggak ada susah,” ujar Koster saat ditemui usai Rapat Paripurna DPRD Provinsi Bali di Kantor Gubernur Bali, Rabu (6/8/2025).
“Di sejumlah desa di gianyar tanpa diperintah dia melaksanakan (membuat teba modern). Di Badung, Gianyar, Buleleng, ada tanpa disuruh, lebih dulu menyelesaikan sampah organiknya. Selesai di situ menjadi pupuk dia,” imbuhnya.
Politisi PDIP itu juga menjelaskan jika pihaknya tidak memberikan bantuan secara khusus untuk membuat teba. Pasalnya, sudah banyak aliran bantuan ke desa seperti dari APBN, Dana Bantuan Keuangan Khusus (BKK), hingga Pajak Hotel dan Restoran (PHR).
“Sebenarnya desa kan punya anggaran, ada dana desa dari APBN, ada Dana BKK, ada PHR,” paparnya.
“Itu (teba modern) menyelesaikan sampah organik dan hasilnya bisa dikembangkan utk mendukung pertanian organik. Ternyata bisa, kalau (desa) yang itu bisa kenapa yg lain nggak? Kan sama aja,” ungkap dia.
Berita Terkait
Terpopuler
- Naksir Avanza Tahun 2015? Harga Tinggal Segini, Intip Pajak dan Spesifikasi Lengkap
- 5 Krim Kolagen Terbaik yang Bikin Wajah Kencang, Cocok untuk Usia 30 Tahun ke Atas
- 7 Rekomendasi Ban Motor Anti Slip dan Tidak Cepat Botak, Cocok Buat Ojol
- 5 Mobil Bekas Senyaman Karimun Budget Rp60 Jutaan untuk Anak Kuliah
- 5 Rekomendasi Bedak Waterproof Terbaik, Anti Luntur Saat Musim Hujan
Pilihan
-
Google Munculkan Peringatan saat Pencarian Bencana Banjir dan Longsor
-
Google Year in Search 2025: Dari Budaya Timur hingga AI, Purbaya dan Ahmad Sahroni Ikut Jadi Sorotan
-
Seberapa Kaya Haji Halim? Crazy Rich dengan Kerajaan Kekayaan tapi Didakwa Rp127 Miliar
-
Toba Pulp Lestari Dituding Biang Kerok Bencana, Ini Fakta Perusahaan, Pemilik dan Reaksi Luhut
-
Viral Bupati Bireuen Sebut Tanah Banjir Cocok Ditanami Sawit, Tuai Kecaman Publik
Terkini
-
5 SUV Paling Laris Akhir 2025: Dari Hybrid Canggih Sampai Harganya 200 Jutaan
-
7 Jenis Heels Populer Bikin Kakimu Jenjang dan Elegan
-
5 Maskara Andalan Bikin Mata Hidup Maksimal
-
Eropa Kekurangan Tenaga Produktif, Ini Syarat Agar Anda Bisa Jadi Pekerja Migran
-
Santunan dan Pemulangan Jenazah WNI Korban Kebakaran Hongkong Ditanggung Pemerintah