Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Senin, 23 Desember 2024 | 10:37 WIB
AJI Denpasar menggelar aksi kampanye di Hari Gerakan Perempuan dan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 25 November-10 Desember, di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Lapangan, Renon, Denpasar, Bali, Minggu (22/12/2024) [AJI DENPASAR]

SuaraBali.id - Kekerasan seksual banyak dialami perempuan khususnya di Indonesia, tak terkecuali para jurnalis perempuan dan pekerja media.

Jurnalis perempuan di Bali pun tak lepas dari ancaman ini. Terbukti pada momen kampanye memperingati Hari Gerakan Perempuan dan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP)   25 November-10 Desember,  di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Lapangan, Renon, Denpasar, Bali, Minggu (22/12/2024) beberapa jurnalis perempuan mengungkapkan pengalamannya saat menghadapi kekerasan seksual di lingkungan kerja.

Belasan jurnalis ini berasal dari anggota Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Denpasar dan Jurnalis Bali lainnya.

Beberapa diantaranya membicarakan tentang korban dan rasa trauma menghadapi pelecehan seksual di keluarga dan tempat kerja, sanksi sosial terhadap pelaku kekerasan seksual hingga edukasi mengenai kesehatan reproduksi seksual.

Baca Juga: PMI Asal Jembrana Meninggal Mendadak di Kapal, Keluarga Dirundung Kesedihan

Ini menjadi catatan penting bagi AJI Denpasar. Ketua AJI Denpasar, Ayu Sulistyowati memandang bahwa keberanian para jurnalis di Bali dalam mengungkapkan pengalaman pahit terkait pelecehan seksual yang dialaminya merupakan langkah yang berani.

“Ini merupakan langkah yang berani, tak semua perempuan bisa seperti ini,” ujar Ayu kepada Suarabali.id, pada Senin (23/12/2024).

Selain itu aksi ini juga diharapkan bisa menjadi contoh bagi perempuan lainnya untuk bisa bersuara melawan kekerasan yang dialaminya.

Ayu juga menyebut bahwa ke depannya, AJI Denpasar akan melakukan pendataan terkait kasus semacam ini di kantor media massa, terutama di Bali.

AJI Denpasar menggelar aksi Hari Gerakan Perempuan dan 16 Hari Anti Kekerasan Terhadap Perempuan (HAKTP) 25 November-10 Desember, di Monumen Perjuangan Rakyat Bali Lapangan, Renon, Denpasar, Bali, Minggu (22/12/2024) [AJI Denpasar]

“Kami akan mendata serta menginventaris bagaimana kasus-kasus pelecehan tersebut. Dan berupaya meriset apakah hingga akhir 2024 ini masih ada ruang-ruang tidak aman itu di lingkungan perusahaan pers. Jika diperlukan akan ada tindak lanjut dan advokasi, kami siap mendampingi korban,” terangnya.

Baca Juga: 9 Ucapan Selamat Natal Bahasa Bali yang Penuh Makna

Selain itu Ayu juga menyoroti bagaimana pemberitaan media massa terhadap perempuan saat ini. Ia memandang maraknya kasus kekerasan terhadap perempuan belakangan menjadi tantangan jurnalis ketika memberitakannya dengan ramah dan beretika.

Pemberitaan kekerasan kepada perempuan seharusnya adalah produk jurnalistik yang dapat membangkitkan semangat kepada korban, mengedukasi, membangun empati dan mitigasi.

Ia melihat saat ini produk jurnalistik justru memuat penghakiman, pelabelan, "menguliti" peristiwanya tanpa etika.

“Dan mirisnya, komersialisasi, industrialisasi, kapitalisasi menjadi alasan agar banyak menarik pembaca. Judulnya erotis tidak etis hingga isinya yg menguliti korban tanpa empati. Ini menjadi hal yang serius. Ruang nyaman jurnalis perempuan pun belum aman, belum terlindungi, pembiaran,” tegasnya.

Sementara itu, Koordinator aksi, Kadek Novi Febriani, menegaskan, peringatan tanggal 22 Desember bukan hanya hari Ibu, melainkan hari pergerakan perempuan.

Kadek Novi berujar bahwa Gerakan Perempuan hadir untuk mendorong tumbuhnya keadilan gender baik dalam bidang ekonomi, politik dan sosial.

Karena menurutnya, selama ini  perempuan dianggap inferior dan laki-laki superior yang menjadi faktor utama terjadinya kekerasan terhadap perempuan. Kekerasan kepada perempuan terus terjadi, ibarat gunung es. Bahkan, banyak korban yang mengalami enggan melapor dan memilih menutup diri karena menganggap sebagai aib.

"Selama ini Hari Ibu mengalami pergeseran makna, perayaan Hari Ibu maknanya dipersempit sekadar hanya urusan rumah tangga maupun domestik. Padahal marwah gerakan ini untuk memperbaiki nasib perempuan. Keluar dari buta huruf dengan menuntut  pendidikan. Perempuan adalah pemikir, pendidik, dan pejuang," ucapnya.

Load More