Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Selasa, 28 November 2023 | 14:05 WIB
Dekorasi pernikahan adat Bali [beritabali.com]

SuaraBali.id - Di Bali, persoalan kasta masih menjadi hal utama dalam kehidupan sehari-hari yang berhubungan erat dengan adat istiadatnya.

Demikian pula kasta dalam pernikahan di Bali. Iya, seperti diketahui, sisem perkawinan di Bali masih terdapat sistem kasta.

Awalnya kasta ini dianggap sebagai warna di Bali yang membedakan profesi dalam masyarakat. Bukan merupakan strata sosial bagi masyarakatnya. Namun demikian ada pandangan-pandangan berbeda bagi penganut sistem kasta ini.

Sistem kasta di Bali ini sendiri terbagi atas empat pengelompokkan, yakni Kasta Brahmana, Ksatria, Waisya, dan Sudra

Baca Juga: Nyentana Dalam Pernikahan Adat Bali, Ini Syarat Dan Konsekuensinya

Kasta Brahmana ini sebutan untuk para pemuka agama, Kasta Ksatria sebutan bagi para bangsawan raja dan yang bergerak di bangku pemerintahan.

Kasta Waisya sebutan bagi para pengusaha, pedagang, dan sejenisnya. Sementara Kasta Sudra sebutan bagi para buruh dan petani.

Membahas soal perkawinan kasta di Bali, berkaitan dengan adanya istilah perkawinan Nyerod. Perkawinan ini dikenal dengan perkawinan beda kasta.

Perkawinan beda kasta di Bali ini biasanya terjadi apabila pihak perempuan memiliki kasta yang lebih tinggi dari pihak laki-laki.

Menurut maknanya, ‘Nyerod’ merupakan ‘meluncur’. Dapat diartikan jika perempuan meluncur ke kasta yang lebih rendah dan tidak lagi menjadi bagian dari kasta keluarga besarnya,

Baca Juga: Akan Segera Berlaku, Begini Alur Pembayaran Retribusi Masuk Bali Bagi Wisman

Meski terdengar sepele, perkawinan nyerod ini cukup berisiko untuk si perempuan. Pasalnya ia benar-benar akan kehilangan akses sembahyang di pura keluarganya.

Pernikahan nyerod ini akan berisiko pula saat keduanya berpisah (bercerai). Saat bercerai, anak akan ikut sejajar dengan kasta suami dan tak bisa kembali ke kasta sebelumnya.

Sementara si perempuan juga belum tentu akan diterima kembali lagi ke keluarganya. Hal ini tergantung dari keluarga masing-masing.

Pernikahan ini dulunya disebut sangat dihindari lantaran hukumannya sangat berat. Sang pengantin konon akan dihukum mati dengan cara ditenggelamkan ke laut hidup-hidup.

Hukuman mati ini disebut lebok atau labuh batu. Hukuman ini kemudian diganti Belanda menjadi hukuman selong atau pembuangan seumur hidup. Namun diganti lagi menjadi pembuangan selama 10 tahun di wilayah Bali.

Seiring berjalannya waktu, di zaman sekarang pernikahan nyerod dianggap sudah tidak relevan. Meski begitu masih saja tetap ada dan kini si perempuan yang menikahi kasta di bawahnya akan dipandang berbeda bahkan kadang negatif oleh orang-orang di sekitarnya. Kendati itu semua kembali kepada cara pandang pribadi dan keluarganya.

Kontributor: Kanita Auliyana Lestari

Load More