Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Senin, 18 Juli 2022 | 09:00 WIB
Warga geger dengan temuan serpihan kapal laut peninggalan Belanda berumur ratusan tahun di Pantai Dedalpak, Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, NTB. [ANTARA]

SuaraBali.id - Warga Desa Pohgading, Kecamatan Pringgabaya, Lombok Timur, digegerkan dengan temuan serpihan kapal laut peninggalan Belanda berumur ratusan tahun di Pantai Dedalpak.

Serpihan kayu yang diduga kapal legendaris di zaman penjajahan Belanda itu muncul ke permukaan. Hal ini pun ikut jadi perhatian anggota Pokdarwis Pondok Kerakat desa setempat.

Mereka lalu melakukan koordinasi bersama pemerintah dan instansi terkait untuk memastikan serpihan kayu yang diduga kapal laut tersebut.

"Kita sudah berkoordinasi dengan pemerintah daerah dan instansi terkait, untuk memastikan serpihan kayu kapal itu," kata Asri, Anggota Pokdarwis saat dikonfirmasi melalui via telepon, Minggu (17/7/2022).

Jebolnya tanggul dan penemuan serpihan kayu kapal tersebut terjadi pada Kamis, 14 Juli 2022.

"Alhamdulillah, kemarin sudah dipasang garis polisi di lokasi oleh Kapolsek Pringgabaya, supaya masyarakat tidak mendekat," katanya.

Kapal Harta Karun

Asri dari para orang tua dan tokoh masyarakat setempat meyakini adanya kemungkinan kapal tersebut peninggalan Belanda, dan atau kapal China membawa harta karun yang tenggelam di wilayah itu.

"Menurut cerita dari orang tua kami, ada dua kemungkinan bongkahan kapal itu. Yakni, peninggalan Belanda atau kapal China yang tenggelam pada zaman itu. Cerita ini, diceritakan oleh nenek moyang kami turun temurun," ucap Asri.

Lokasi penemuan kapal legendaris tersebut merupakan bekas Labuhan Damar yang masuk pada kawasan Bangsal Poh Gading di era tahun 1857 Masehi.

Tak hanya serpihan Kapal, beberapa benda juga menjadi temuan masyarakat seperti piring kuningan.

 "Lokasi itu bekas pelabuhan dagang dan pangkalan militer. Ini menurut referensi dari teman kita Gegen," sebutnya.

Bahkan kata Asri lebih lanjut, sejak munculnya bongkahan kayu tersebut, menjadi obyek tontonan masyarakat karena penasaran.

Sebagian kayu, besi dan barang lainnya di dalam kapal dijarah oleh masyarakat. Untuk mendapatkan kayu, masyarakat menggunakan mesin pemotong sebagai upaya penjarahan.

Untuk diketahui, katanya lebih lanjut empat bulan yang lalu warga setempat juga menemukan satu rongsokan kapal laut ditempat yang sama. Namun sayang kayu dan benda lainnya habis dijarah oleh masyarakat.

Hal itulah yang dikhawatirkan dan tidak diinginkan oleh Asri. Menurutnya rongsokan kapal tersebut bisa dijadikan situs sejarah dan cakar budaya daerah setempat.

"Apa yang diceritakan oleh kakek buyut kita selama ini benar adanya. Juga, ini sebagai langkah awal pemerintah dan ahli arkeolog untuk meneliti keberadaan rongsokan kapal itu," jelas Asri.

Ia pun meyakini, masih banyak benda peninggalan dalam kapal tertimbun pasir, karena lokasinya merupakan bangsal atau pelabuhan perdagangan di era Belanda menguasai Indonesia.

"Areal temuan itu masuk kawasan penambangan pasir besi, saat ini menjadi kolam pengerukan. Namun karena tanggul atau pembatasnya jebol dihantam ombak, sehingga airnya surut itulah yang memunculkan kayu berbentuk moncong kapal laut," tutur Asri.

Senada yang disampaikan oleh salah satu tokoh masyarakat setempat, Satriawan.  Ia mengaku pernah diceritakan oleh almarhum neneknya bahwa ada beberapa kapal tenggelam di lokasi tersebut ratusan tahun lalu.

"Almarhum nenek saya pernah menceritakan kami soal kapal laut yang tenggelam di sana, nenek saya pun dapat cerita dari neneknya. Meski demikian, kami tidak berani memastikan kebenaran ceritanya," ujar Satriawan.

Satriawan mengatakan, berdasarkan peta Belanda tahun 1857-1879, lokasi penemuan itu menjadi sentral pedagang dan militer. Terbukti dengan adanya bekas nama bangsal Poh Gading.

Adapun upaya yang dilakukan oleh tokoh masyarakat dan anggota Pokdarwis setempat. Pihaknya bergantian menjaga lokasi itu, bagi masyarakat yang ingin menjarah kapal tersebut tidak berani.

"Rongsokan kapal itu kita mau angkat dan dijadikan sebagai cagar budaya, " kata Satriawan. (ANTARA)

Load More