Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Selasa, 05 Juli 2022 | 16:57 WIB
Ilustrasi demo (Shutterstock).

SuaraBali.id - Delapan aktivis kampus Universitas Pendidikan Mandalika (Undikma) dilaporkan ke Aparat Penegak Hukum (APH) oleh rektornya.

Pelaporan ini adalah buntut aksi pada 24 Februari 2022 saat mahasiswa menggelar aksi damai untuk menuntut fasilitas yang layak, transparansi SPP, hingga pembatasan jam malam  yang diterapkan oleh pihak kampus.

Selanjutnya, pada 21 Maret, mahasiswa kembali menggelar aksi dan audiensi dengan pihak. Mahasiswa pun kembali bergerak mulai dari 6 sampai 12 April 8 mahasiswa terus melakukan audensi serta pengawalan atas tindakan pelaporan.

Namun demikian, pasca peristiwa ini ada 8 aktivis mahasiswa yang dilaporkan oleh pihak birokrasi ke polisi atas tuduhan perusakan barang.

Dan baru-baru ini beredar kabar pada 2 Juli 2022 tuduhan terhadap 8 aktivis mahasiswa dinaikkan statusnya menjadi tersangka.

Atas laporan ini aktivis kampus dikenakan wajib lapor dua kali dalam seminggu. Front Mahasiswa Nasional (FMN) Mataram meminta rektor untuk mencabut laporannya.

Ketua Cabang FMN Mataram Alwi Habib mengutuk keras tindakan yang dilakukan oleh pihak kampus. Tindakan  ini dinilai mencoreng nama baik institusi dan pembatasan kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul bagi mahasiwa.

“Tindakan pelaporan oleh rektor Undikma ini mencerminkan pembatasan atas kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berkumpul bagi mahasiswa Undikma,” tegas Alwi saat dihubungi suara.com, Selasa (5/7/2022).

Ia melanjutkan, tindakan rektor sebaga pertanda bahwa sistem penyelenggaraan pendidikan nasional menanamkan anti ilmiah dan anti demokrasi.

Atas dasar itu FMN Mataram mengajak kepada masa untuk bersolidaritas dan menggalang kekuatan atas seluruh ancaman demokrasi dalam perguruan tinggi.

Load More