Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Selasa, 01 Juni 2021 | 13:52 WIB
Bali diterjang tsunami dan gempa besar di masa lalu. (BeritaBali)

Menurut Dody Hidayat dan kawan-kawan dalam Gempa: Kumpulan Artikel Ilmu & Teknologi Majalah Tempo (2013), wilayah ini memang menjadi kawasan rawan gempa sejak dulu karena terletak di atas tumbukan tiga lempeng bumi.

Ada satu desa di Kelurahan Talise, Palu Timur, Sulawesi Tengah, bernama Tanah Runtuh. Nama ini ternyata bukan dongeng belaka. Desa itu pernah benar-benar lebur dihantam gempa bumi dan tsunami pada masa silam, demikian dilaporkan Kompas (4/9/2012) dalam artikel “Hikayat Runtuhnya Tanah Runtuh”.

Di Aceh, yang beberapa kali dilanda gempa bumi dan tsunami selama perjalanan panjang riwayatnya, bahkan tercipta kearifan lokal yang sangat bermanfaat melalui hikayat atau syair yang beberapa di antaranya memberikan semacam panduan bilamana terjadi bencana alam.

Salah satunya adalah Syair Nandong yang dilafalkan turun-temurun sejak berabad-abad lalu. Syair ini di antaranya berbunyi: anga linon ne mali (jika gempanya kuat) uwek suruik sahuli (disusul air yang surut) maheya mihawali fano me singa tenggi (segeralah cari tempat yang lebih tinggi) ede smong kahanne (itulah tsunami namanya).

Baca Juga: Gempa Magnitudo 4,8 Guncang Pasaman, Begini Pengakuan Warga

Aceh cukup sering diguncang gempa besar dan smong (dapat diartikan sebagai tsunami meskipun makna sebenarnya lebih dari itu), termasuk pada era pemerintahan Sultan Iskandar Muda tahun 1621, kemudian 1907, 1964, serta 2004 lalu.

Dari pengalaman itulah tercipta kearifan lokal berupa syair yang rasional dan berfaedah seperti Syair Nandong.

Sekali lagi, hikayat telah meriwayatkan banyak peristiwa gempa bumi maupun tsunami di berbagai wilayah di Nusantara pada masa lalu. Kearifan lokal tentang fenomena alam ini mewujud dalam berbagai rupa dan tujuan, dari mitos, legitimasi, hingga yang rasional dan bermanfaat; sehingga sebaiknya disikapi dengan arif pula.

Load More