Scroll untuk membaca artikel
RR Ukirsari Manggalani
Selasa, 13 April 2021 | 15:54 WIB
Suasana jelang perayaan Galungan Suku Tengger di Desa Desa Ngadas, Poncokusumo, Kabupaten Malang, Jawa Timur. [Suara.com/Sugianto]

SuaraBali.id - Parisadha Hindu Dharma menyimpulkan upacara Galungan mempunyai arti Pawedalan Jagat atau Oton Gumi. Yaitu hari yang ditetapkan agar umat Hindu di Bali menghaturkan "Maha Suksemaning Idepnya" ke hadapan Ida Sang Hyang Widhi atas terciptanya dunia serta segala isinya.

Dikutip BeritaBali.com, jaringan SuaraBali.id, dari Babadbali.com, pada Hari Raya Galungan, umat Angayubagia, bersyukur atas karunia Ida Sanghyang Widhi Wasa yang telah berkenan menciptakan segalanya di dunia ini.

Ngaturang maha suksmaning idép, angayubagia adalah suatu pertanda jiwa yang sadar akan kinasihan, tahu akan hutang budi.

Yang terpenting, dalam pelaksanaan upakara pada hari-hari raya adalah sikap batin. Mengenai bebanten hanya ditulis yang pokok-pokok saja menurut yang umum dilakukan umat.

Baca Juga: Wisata Bali: Menparekraf Pantau Kesiapan Pembukaan Pariwisata Pulau Dewata

Umat Hindu merayakan Hari Raya Galungan di tengah situasi aktivitas Gunung Agung pada level siaga di Pura Besakih, Karangasem, Bali [Suara.com].

Dalam rangkaian peringatan Galungan, pustaka-pustaka mengajarkan bahwa sejak Redite Pahing Dungulan umat didatangi Kala-tiganing Galungan. Yaitu: Sang Bhuta Galungan, Sang Bhuta Dungulan, dan Sang Bhuta Amangkurat.

Disebutkan dalam pustaka-pustaka bahwa mereka adalah simbul angkara (keletehan).

Jadi dalam hal ini umat berperang, bukanlah melawan musuh berbentuk fisik, tetapi kala keletehan dan adharma. Berjuang, berperang antara dharma untuk mengalahkan adharma. Menilik nama-nama itu, dapatlah kiranya diartikan sebagai berikut:

  • Hari Pertama = Sang Bhuta Galungan. Galungan berarti berperang ata bertempur. Berdasarkan ini, boleh diartikan bahwa pada hari Redite Pahing Dungulan baru kedatangan bhuta (kala) yang menyerang (manusia baru sekedar diserang).
  • Hari Kedua = Sang Bhuta Dungulan. Ia mengunjungi manusia pada hari Soma Pon Dungulan keesokan harinya. Kata Dungulan berarti menundukkan/ mengalahkan.
  • Hari Ketiga = Sang Bhuta Amangkurat. Hari Anggara Wage Dungulan manusia dijelang oleh Sang Bhuta Amangkurat. Amangkurat sama dengan menguasai dunia. Dimaksudkan menguasai dunia besar (Bhuwana Agung), dan dunia kecil ialah badan kita sendiri (Bhuwana Alit).

Pendeknya, mula-mula manusia diserang, kemudian ditundukkan, dan akhirnya dikuasai. Ini yang akan terjadi, keletehan benar-benar akan menguasai manusia, bila manusia pasif saja kepada serangan-serangan itu.

Dalam hubungan inilah Sundari-Gama mengajarkan agar pada hari-hari ini umat den prayitna anjekung jnana nirmala, lamakane den kasurupan. Hendaklah umat meneguhkan hati agar jangan sampai terpengaruh oleh bhuta-bhuta (keletehan-keletehan) hati itu. Inilah hakikat Abhya-Kala (mabiakala) dan metetebasan yang dilakukan pada hari Penampahan.

Baca Juga: Wisata Bali: Indonesia Negosiasi ke Beberapa Negara Soal Travel Bubble

Menurut Pustaka (lontar) Djayakasunu, pada hari Galungan itu Ida Sanghyang Widhi menurunkan anugerah berupa kekuatan iman, dan kesucian batin untuk memenangkan dharma melawan adharma.

Menghilangkan keletehan dari hati dalam masing-masing. Memperhatikan makna Hari Raya Galungan itu, maka patutlah pada waktu-waktu itu, umat bergembira dan bersuka ria. Gembira dengan penuh rasa Parama Suksma, rasa terima kasih, atas anugrah Hyang Widhi.

Sejumlah umat Hindu membawa sesajen saat persembahyangan Hari Raya Galungan di Ubud, Bali. Diabadikan jauh sebelum pandemi virus Corona [Suara.com].

Gembira atas anugerah tadi, gembira pula karena Bhatara-bhatara, jiwa suci leluhur, sejak dari sugi manek turun dan berada di tengah-tengah pratisentana sampai dengan Kuningan.

Penjor terpancang di muka rumah dengan megah dan indahnya. Menjadi lambang pengayat ke Gunung Agung, penghormatan ke hadirat Ida Sanghyang Widhi. Janganlah penjor itu dibuat hanya sebagai hiasan semata-mata.

Lebih-lebih pada Hari Raya Galungan, karena penjor adalah suatu lambang yang penuh arti. Pada penjor digantungkan hasil-hasil pertanian seperti padi, jagung, kelapa, jajanan dan lain-lain, juga barang-barang sandang (secarik kain) dan uang.

Ini mempunyai arti sebagai penggugah hati umat, sebagai momentum untuk membangunkan rasa pada manusia, bahwa segala yang pokok bagi hidupnya adalah anugerah Hyang Widhi.

Semua yang dipergunakan manusia adalah karuniaNya, yang dilimpahkannya kepada semua karena cinta kasihNya. Marilah manusia bersama hangayu bagia, menghaturkan rasa Parama suksma.

Kita bergembira dan bersukacita menerima anugerah-anugerah itu, baik berupa material yang diperlukan bagi kehidupan, maupun dilimpahkan berupa kekuatan iman dan kesucian batin.

Dalam mewujudkan kegembiraan itu janganlah dibiasakan cara-cara yang keluar dan menyimpang dari kegembiraan yang berdasarkan jiwa keagamaan. Mewujudkan kegembiraan dengan judi, mabuk, atau pengumbaran indria dilarang agama.

Bergembiralah dalam batas-batas kesusilaan (kesusilaan sosial dan kesusilaan agama) misalnya mengadakan pertunjukkan kesenian, malam sastra, mapepawosan, olahraga dan lain-lainnya. Hendaklah kita berani merombak kesalahan-kesalahan/ kekeliruan-kekeliruan drsta lama yang nyata-nyata tidak sesuai atau bertentangan dengan ajaran susila.

Selanjutnya oleh umat Hindu di Bali dilakukan persembahyangan bersama-sama ke semua tempat persembahyangan, misalnya di sanggah atau pemerajan, di pura-pura seperti pura-pura Kahyangan Tiga dan lain-lainnya.

Sedangkan oleh para spiritualis, Hari Raya Galungan ini dirayakan dengan dharana, dyana dan yoga semadhi.

Persembahan dihaturkan ke hadapan Ida Sanghyang Widhi dan kepada semua dewa-dewa dan dilakukan di sanggah parhyangan, di atas tempat tidur, di halaman, di lumbung, di dapur, di tugu (tumbal), di bangunan-bangunan rumah dan lain-lain

Seterusnya di Kahyangan Tiga, di Pengulun Setra (Prajapati), kepada Dewi Laut (Samudera) Dewa Hutan (Wana Giri) di perabot-perabot atau alat-alat rumah tangga dan sebagainya.
Widhi-widhananya untuk di Sanggah atau parhyangan ialah: Tumpeng penyajaan, wewakulan, canang raka, sedah woh, penek ajuman, kernbang payas serta wangi-wangian dan pesucian. Untuk di persembahyangan (piasan) dihaturkan tumpeng pengambean, jerimpen, pajegan serta dengan pelengkapnya. Lauk pauknya sesate babi dan daging goreng, daging itik atau ayarn, dibuat rawon dan sebagainya.

Sejumlah umat Hindu membawa sesajen saat persembahyangan Hari Raya Galungan di Ubud, Bali [Suara.com].

Sesudah selesai menghaturkan upacara dan upakara itu kemudian umat menghaturkan segehan tandingan sebagaimana biasanya, untuk pelaba-pelaba kepada Sang Para Bhuta Galungan, sehingga karena gembiranya mereka lupa dengan kewajiban- kewajibannya mengganggu dan menggoda ketenteraman batin manusia.

Demikianlah hendaknya Hari Raya Galungan berlaku dengan aman dan diliputi suasana suci hening, mengsyukuri limpahan kemurahan Ida Sanghyang Widhi untuk keselamatan manusia dan seisi dunia.

Pada hari Saniscara Keliwon Wuku Kuningan (hari raya atau Tumpek Kuningan), Ida Sanghyang Widhi para Dewa dan Pitara-pitara turun lagi ke dunia untuk melimpahkan karuniaNya berupa kebutuhan pokok ini.

Pada hari itu dibuat nasi kuning, lambang kemakmuran dan dihaturkan sesajen-sesajen sebagai tanda terimakasih dan suksmaning idep kita sebagai manusia (umat) menerima anugrah dari Hyang Widhi berupa bahan-bahan sandang dan pangan yang semuanya itu dilimpahkan oleh beliau kepada umatNya atas dasar cinta-kasihnya. Di dalam tebog atau selanggi yang berisi nasi kuning tersebut dipancangkan sebuah wayang-wayangan (malaekat) yang melimpahkan anugrah kemakmuran kepada kita semua.

Demikian secara singkat keterangan-keterangan dalam merayakan Hari Raya Galungan dan Kuningan dalam pelaksanaan dari segi batin.

Kesimpulan: Dalam menyambut dan merayakan hari-hari raya itu, bergembiralah atas anugerah Hyang Widhi dalam batas-batas kesusilaan agama dan keprihatinan bangsa. Terangkan hati, agar menjadi Çura, Dira dan Deraka (berani, kokoh dan kuat), dalam menghadapi hidup di dunia.

Hemat dan sederhanalah dalam mempergunakan biaya. Terakhir dan bahkan yang terpenting ialah mohon anugerah Hyang Widhi dengan ketulusan hati.

Sejumlah Umat Hindu saat persembahyangan Hari Raya Galungan di Ubud, Bali [Suara.com]

Load More