Pebriansyah Ariefana
Senin, 05 April 2021 | 14:39 WIB
Menteri Kesehatan Budi Gunadi Sadikin memperlihatkan vaksin COVID-19 Astrazeneca saat vaksinasi kepada kyai Nahdlatul Ulama (NU) di Kantor PWNU Jatim di Surabaya, Jawa Timur, Selasa (23/3/2021). ANTARA FOTO/Moch Asim
Ilustrasi vaksin AstraZeneca. (Dok : Istimewa)

"Perbedaan pendapat antara Komisi Fatwa MUI Pusat dan Komisi Fatwa MUI Jatim di atas, sebenarnya hal biasa saja apabila dilihat dari sudut pandang bahwa keduanya merupakan hasil ijtihad. Sebuah produk ijtihad memungkinkan adanya perbedaan pendapat, bahkan meniscayakan adanya perbedaan pendapat itu," ucap Ainul Yaqin.

Ainul Yaqin juga menyebut, yang menjadi masalah, perbedaan itu mencuat ke publik secara terbuka tanpa penjelasan yang mencukupi, sehingga menimbulkan kebingungan.

Lebih- lebih, lembaga yang menerbitkan fatwa berbeda ini, sama-sama MUI, yang satu MUI pusat, satunya lagi MUI Provinsi Jawa Timur.

Di era media sosial saat ini, kata dia, informasi bisa menyebar secara luas, namun demikian bisa menimbulkan paradoks, yakni kebingungan terhadap informasi itu sendiri.

"Pada kasus perbedaan fatwa ini, akar masalahnya adalah karena dasar istinbath hukum yang digunakan berbeda. Komisi Fatwa MUI pusat mendasarkan pada larangan intifa’ (pemanfaatan) babi dalam kondisi normal," katanya.

"Komisi Fatwa MUI (Pusat) menyimpulkan, adanya pemanfaatan bagian dari babi (intifa’) dalam proses produksi menjadi dasar keharaman produk yang dibuat. Dalam hal ini, adanya istihâlal selama proses produksi menjadi tidak dilihat, karena intifa’ mendahuluinya," katanya.

Load More