Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Rabu, 30 September 2020 | 16:32 WIB
Kuburan massal korban G30S (dok Yunantyo Adi)

Makam itu semula diidentifikasi sebagai kuburan korban pembunuhan massal oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) pada tahun 2000 silam.

Namun, identifikasi YPKP 65 tak ada kelanjutan, hingga pada 2014, sekelompok aktivisi pegiat HAM yang diketuai Yunantyo dengan nama Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) melanjutkan penelitian tersebut.

PMS-HAM membutuhkan waktu sekitar 7,5 bulan untuk melakukan penelitian mengenai identitas para korban. Mereka kemudian berhasil mengidentifikasi delapan nama dari 24 nama yang diperkirakan dikubur di makam tersebut.

Awalnya PMS-HAM hendak melakukan penggalian terhadap makam tersebut.

Baca Juga: Cerita Mbah Margo, Kakek yang Diminta Masuk Luweng untuk Cari Jasad PKI

Namun, karena tak mendapat persetujuan dari Komnas HAM, maka dipilih opsi pemasangan nisan.

Nisan yang menyerupai prasasti itu dipasang pada 1 Juni 2015 atau bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila. Sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah pun turut diundang.

Setelah lima tahun berlalu, makam Plumbon akhirnya masuk dalam kategori situs persekusi politik oleh PBB.

”Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina,” ujar pria yang berprofesi sebagai advokat itu.

Baca Juga: Monumen Ade Irma Suryani Nasution Resmi Berdiri di Sangihe

Load More