Scroll untuk membaca artikel
Pebriansyah Ariefana
Rabu, 30 September 2020 | 16:32 WIB
Kuburan massal korban G30S (dok Yunantyo Adi)

Cara tersebut, menurutnya lebih efektif untuk memberi edukasi kepada warga sekitar.

Meski demikian, saat itu ia tak mau menyentuh soal ideologi karena Yunantyo tak mau menciptakan rasa dendam.

"Saat itu kami hanya ingin agar jenazah yang ada di Hutan Plumbon dimakamkan dengan layak," imbuhnya.

Diakui PBB

Baca Juga: Cerita Mbah Margo, Kakek yang Diminta Masuk Luweng untuk Cari Jasad PKI

Nobar Film G30S/PKI.

Makam Moetiah dan kawan-kawan, saat ini menjadi salah satu situs yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pengingat tindak kejahatan hak asasi manusia (HAM).

Seperti dilansir Semarangpos, makam itu diketahui diakui PBB atas klaim Yunantyo.

Yunanto mengatakan pada 1 Mei 2019 mendapat surat elektronik (surel) dari The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH).

CIPDH yang berada di bawah naungan badan khusus PBB, United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) itu meminta kepadanya untuk memberikan materi terkait makam Plumbon. Setelah itu, CIPDH-UNESCO pun menetapkan makam tersebut sebagai situs memori terkait pelanggaran HAM berat.

“Ini istimewa dan sarat makna. Terus terang, ini di luar dugaan. Plumbon sebagai kuburan massal korban tragedi 1965 dipilih UNESCO sebagai situs resmi,” ujar Yunantyo kepada Semarangpos.com (jaringan Suara.com) awal Januari lalu.

Baca Juga: Monumen Ade Irma Suryani Nasution Resmi Berdiri di Sangihe

Yunantyo lantas menceritakan awal penemuan makam yang diduga berisi kerangka korban pembunuhan massal 1965 tersebut.

Load More