Atas penetapan tersangka itu pula lah, Desa Adat bertindak tegas terhadap dua krama yang melaporkannya serta sejumlah krama yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama Desa Adat. Desa Adat menggelar paruman Agung sekaligus membuat perarem terkait polemik ini.
"Karena tidak ada lagi mediasi, kasus ini lanjut. Maka desa Adat melalui paruman Agung membuat perarem," tegas Cok Pemayun.
Isi pararem ini menyikapi dua krama yang kena sanksi Kanorayang dan sejumlah krama yang keberatan tanah teba disertifikatkan atas nama Desa Adat Jro Kuta Pejeng. Bahwa tanah yang akan diambil oleh Desa Adat adalah tanah ayahan desa yang terdiri dari Parahyangan, Pawongan, Palemahan.
Selain milik desa Adat, bisa dimiliki oleh krama bersangkutan. Jangka waktu yang diberikan untuk segera angkat kaki yakni kalih wuku atau dua minggu. Terhitung mulai, Minggu (10/10).
Dalam rentang waktu tersebut, dua krama yakni I Made Wisna dan I Ketut Suteja harus sudah angkat kaki dari Desa Adat Jro Kuta Pejeng.
Dan jika tidak mengikuti pararem, maka prajuru desa bersama Pecalang akan turun tangan mengusir paksa dua krama tersebut.
Sementara kepada krama yang keberatan tanah teba-nya disertifikatkan atas nama Desa Adat Jro Kuta Pejeng dibatasi haknya mekrama Adat.
Dilarang menggelar upacara Ngaben, mekingsan ring geni di Setra Adat dan tidak dapat nuwur tirta Kahyangan Tiga. Apabila tetap bermaksud menggelar pengabenan maupun mekingsan ring geni, krama tersebut dikenakan sanksi penanjung batu.
Besarannya 1 kilogram beras kali jumlah krama desa Adat Jro Kuta Pejeng sebanyak 1.118 orang.
Krama bersangkutan juga tidak akan mendapatkan arah Banjar atau pengumuman, tidak mendapatkan upasaksi dari prajuru jika menggelar upacara Panca Yadnya. Juga dilarang nuwur Pemangku Kahyangan Tiga, tidak mendapat nuwur Tirta Kahyangan Tiga.