Situasi Politik Gawat Pasca Gestok 1965, di Bali Sekolah Ditutup

Kisah bagian kedua dari sejarah kehadiran G30S PKI di Pulau Dewata yang dituturkan Putu Setia dalam bukunya.

RR Ukirsari Manggalani
Selasa, 07 September 2021 | 09:57 WIB
Situasi Politik Gawat Pasca Gestok 1965, di Bali Sekolah Ditutup
[beritabali.com/ilustrasi: gede hartawan/Pasca Gestok Situasi Politik Gawat, Sekolah Ditutup]

SuaraBali.id - Di bagian perdana telah dikisahkan (silakan klik di sini), betapa di masa 1960-an, murid-murid SMP pun telah berkenalan dengan politik. Kini, pasca Gerakan 1 Oktober 1965 (Gestok), suasana di wilayah Bajera Tabanan Bali dan sekitarnya mulai memanas.

Dikutip dari Beritabali.com, jaringan SuaraBali.id, Pak Dedeh, Kepala Sekolah SMP Gotong Royong Bajera (kemudian menjadi sekolah negeri) meminta murid agar tenang. Pak Dedeh juga melarang kegiatan "kampanye" di jam istirahat. Ia menjelaskan bahwa situasi di Jakarta tidak menentu.

Warung tempat berkumpul orang-orang PKI di Desa Brembeng dirobohkan massa PNI dari luar Desa Brembeng, demikian juga sekitar sepuluh rumah orang PKI. Sedangkan massa PNI Desa Brembeng menghancurkan rumah orang PKI di desa lain.

Di bangku sekolah, suasana juga ikut memanas. Mulai terjadi gesekan antara siswa simpatisan GSNI (afiliasi PNI) dan IPPI (afiliasi PKI). Ketegangan kecil terus berulang di sekolah Putu Setia, mantan jurnalis yang memaparkan kisah ini dalam buku memoar, "Wartawan Jadi Pendeta, Otobiografi Putu Setia".

Baca Juga:Wisata Bali: Bisnis Jet Pribadi Tumbuh Saat Pandemi, Rute Pulau Dewata Terlaris

Ketegangan akhirnya terasa di mana-mana. Tentara mulai banyak datang dan ditempatkan di rumah kosong di sebelah kantor PNI. Sekolah tetap seperti biasa, namun murid mulai jarang terutama yang dikenal sebagai pentolan IPPI.

Di malam hari, orang-orang PNI bergerombol di jalanan bahkan tidur di jalan. Mobil sudah jarang sekali lalu-lalang terutama di malam hari. Cerita pembunuhan PKI di desa lain terus beredar. Dan di suatu pagi, Putu melihat sendiri orang sekarat berlumuran darah yang akan dibawa ke markas tentara di dekat kantor PNI.

Hari-hari berlalu dengan ketegangan. Mobil umum sudah jarang yang lewat. Kebanyakan mobil jip tentara. Ada yang membawa orang diborgol, sudah babak belur, bahkan nyaris meninggal dunia. Orang-orang PKI yang kena "garis" dikubur (ditimbun) secara sederhana.

Suatu pagi, Putu melihat remaja sebayanya tergeletak di depan rumah yang ditempati tentara. Ternyata remaja yang sekarat itu adalah murid SLUB dari IPPI (afiliasi PKI) yang suka berpidato dalam acara "kampanye" di sekolah.

Dua orang tentara kemudian menggotong siswa yang sekarat itu dan melemparkannya ke atas mobil jip. Jip kemudian bergerak ke arah barat menuju pantai untuk "membuang" anak itu.

Baca Juga:Wisata Bali: Desa Serangan Bertahan di Zona Hijau COVID-19, Warga Patuh Prokes

Situasi semakin gawat. Pemerintah memutuskan menutup sekolah. Murid-murid dikembalikan ke orang tua masing-masing. Putu Setia kemudian pulang ke rumahnya di Desa Pujungan dengan menumpang truk. Di Desa Ampadan, truk distop tentara. Dua tentara masuk memeriksa surat-surat. Penumpang truk semua ketakutan.

"Ini siapa? PKI apa Marhaen?" tanya tentara menunjuk penumpang.

"Ini penduduk desa saya," ujar Putu Setia.

Tentara akhirnya mengizinkan truk dan penumpang lewat. Truk berjalan, rasa takut penumpang hilang. Dua penumpang lelaki dalam truk memeluk Putu dengan haru.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Terkini