SuaraBali.id - Jiwa nasionalis, cinta bangsa, tanah air, dan berkobarnya semangat perjuangan masyarakat Tihingan Klungkung Bali terus membara.
Masyarakatnya sejak dahulu telah menekuni kegiatan dalam bidang industri gamelan atau gong sebagai mata pencaharian.
Hubungan masyarakat keluar desa/daerah yang berjalan lancar dan berkesinambungan. Beberapa warganya bertugas di luar Kabupaten Klungkung (Wayan Cakranegara guru di SR Bangli dan Nyoman Bebas guru di SR Buleleng).
Mengalir berbagai informasi dari luar Kabupaten Klungkung, yang bernafaskan semangat kemerdekaan, menghidupkan jiwa nasionalisme serta menggelorakan semangat perjuangan di kalangan masyarakat Desa Tihingan.
Baca Juga:Luhut Tegaskan Data Kematian Tidak Dikeluarkan Permanen dari Evaluasi Level PPKM
Dalam jangka waktu singkat telah terjadi beberapa kegiatan sebagai wujud nyata betapa hidup berkobarnya semangat atau jiwa perjuangan.
Sekitar September 1945 berangkat ke Denpasar I Wayan Cakranegara, Nyoman Bebas, Nyoman Kondra, Ida Bagus Ngurah Gog, Wayan Suji bersama rombongan dari Klungkung lainnya menghadiri rapat umum pertama di Bali, yaitu pembentukan BKR (Bada Keamanan Rakyat) Daerah Bali.
Sebelum berangkat ke Denpasar berkumpul di depan kantor PU Klungkung.
Sebulan kemudian sekitar Oktober 1945, I Nyoman Kondra yang telah mendaftar sebagai anggota Komite Nasional Indonesia (KNI) menghadiri rapat umum yang diselenggarakan di los pasar Klungkung.
Rapat itu dihadiri utusan pusat yakni Mulyono dan Ida Bagus Mahadewa. Hadir pula dari Kecamatan Banjarangkan Wayan Gubah dan Made Orta dari Sengkiding.
Baca Juga:Lagi! PPKM Level 4 Pulau Jawa - Bali Diperpanjang sampai 23 Agustus 2021
Di luar tembok pasar tampak berjaga-jaga dua kelompok petugas keamanan yang versinya berbeda yaitu BKR (Badan Keamanan Rakyat) dan BKN (Barisan Keamanan Negara).
Selesai rapat umum, dengan dua kendaraan (sejenis truk mini) berhias bendera merah putih sejumlah peserta rapat bergerak menuju Banjarangkan untuk demonstrasi.
Hubungan keluar oleh Ida bagus Ngurah Gog sehingga diterimanya beberapa surat dari pedalaman yang beralamat "Pesaraman", memberikan petunjuk tentang bagaimana dan apa yang dapat dikerjakan di luar daerah "Pesraman".
Untuk lebih meyakinkan mereka yang di pedalaman (Pesraman) bahwa sejumlah anggota masyarakat Tihingan ingin berjuang bersama di pihak Republik.
Sekitar November 1945 dilakukan penandatanganan (cap jempol) dengan darah tangan sendiri bertempat di serambi bale (meten) I Nyoman Kondra yang diikuti oleh Ida Bagus Ngurah Gog, Wayan Cakranegara, Nyoman Bebas, Wayan Suji, Wayan Sudha, Nyoman Kondra, Made Wenten, Wayan Sandia dan Nyoman Nesa (Penasan).
Disamping itu hadir pula Ida Bagus Putu Gede, Wayan Sandhi dan Wayan Kandra yang masih pelajar. Daftar ini pada waktunya dikirim ke "Pesraman".
Pada kesempatan ini pula kepada I Made Wenten yang berpengalaman dagang di Toko Sempurna (Kumiai-Jepang) diberikan tugas dalam bidang logistik. Menghimpun sumbangan dana/barang selanjutnya dikirim ke daerah pedalaman.
Untuk mengurangi kecurigaan pihak yang anti republik, sebagai kamuflase dibentuklah perkumpulan sandiwara yang diberi nama PASTI singkatan dari Persatuan Anak Sandiwara Tihingan.
Disamping untuk alat kamuflase, juga dimaksudkan sebagai media propaganda perjuangan, tentunya terselip tujuan hiburan ringan bagi masyarakat Tihingan dan sekitarnya. Keanggotaannya pun berkembang sampai ke Penasan, Banda, Pau, Aan bangkah juga Br. Angkam/Akah.
Untuk tempat latihan dan persiapan pertunjukan dipilih tempatnya Nyoman Bebas (rumahnya Wayan Sekar) dan warung Wayan Sandia (Pan Mustika).
Setiap kali dilakukan pertunjkan/pentas, mengundang tentara NICA dan kaki tangannya datang membuntuti dan memata-matai.
Ida Bagus Ngurah Gog bersama Wayan Cakranegara melayat ke Geriya Br. Angkan atas nama teman-teman yang lain memberikan penghormatan kepada Ida Bagus Puja yang gugur dalam pertempuran di Lampu Kintamani Bangli.
Ida Bagus Putu Gede salah seorang kader/pejuang muda yang masih berstatus pelajar SLU Saraswati Denpasar meninggal dunia karena sakit.
Para guru dan pelajar SLU Saraswati Denpasar dengan beberapa bus/kendaraan datang melayat. Peristiwa ini ternyata memberi rangsangan, lebih berkobarnya semangat jiwa perjuangan.
Nyoman Bebas, Wayan Cakranegara, Wayan Sandia (Pan Mustika) diantar Wayan Mus berangkat ke Pesaban lewan Nyanglan untuk berkenalan dengan Gde Wija. Karena tak bertemu, beberapa minggu kemudian diulang kembali berdua.
Atas prakarsa beberapa orang (Wayan Suji, Wayan Berata, Wayan Dresta, Made Jedog) dengan restu para Kelian Desa (Pan Suji dkk) dibentuk pula Sekehe Gong dikoordinir oleh Wayan Suji.
Sekehe ini yang dilengkapi dengan sejumlah penari: Ni Wayan Kasna, Ni Wayan Tetep, Ni Ketut Sriani, NI Made Sukaning dan I Nyoman Tama dibawah pimpinan guru tari dan tabuh dari Sukawati dan Medahan Gianyar giat berlatih hampir setiap sore/malam sehingga suasana desa menjadi semarak.
Jalinan kerjasama antara grup sandiwara, sekehe gong dengan para pimpnan desa dan masyarakat umumnya yang demikian harmonis menjadikan orang luar tidak mengetahui bahwa dibelakang semua itu ada "arus bawah" yang bergerak deras, yakni semangat perjuangan yang menggelora.
Siapapun pejuang atau utusan "pedalaman" yang datang ke desa ini terjamin aman berkat kekompakan masyarakat.
Atas perintah dari "Pesraman" Ida Bagus Ngurah Gog berangkat ke Denpasar untuk mengambil bantuan senjata.
Pengiriman mesin ketik milik Wayan Gubah ke Nongan lewat Gusti Ketut Canteng di Manduang dapat dilaksanakan dengan selamat diterima di daerah "Pesraman".
Kemudian atas dasar mesin ketik ini pula yang tidak diketahui pemiliknya, Wayan Gubah sangat keras mendapat siksaan dari Beenstefel dan Letnan Garo dalam pemeriksaan di tahanan Belanda.
Demikian pula tugas mengawal perjalanan Pak Bayu (Pak Bonjoran) dari bangbang hingga Takmung (Gusti Ketut Tugug) untuk selanjutnya berangkat ke Jawa, meminta bantuan senjata bagi kepentingan perjuangan di Bali, dapat dikerjakan dengan selamat.
Hubungan keluar oleh Ida bagus Ngurah Gog dengan I Gusti Tugug di Takmung dengan staf Dharmaputra di Bangli diantar Wayan Cakranegara yang berdomisili di Tembuku memberikan dorongan betapa pentingnya terbentuk staf sebagai wadah perjuangan yang formal.
Memasuki 1947 setelah ada kepastian bahwa Cokorda Anom Putra berdiri di pihak republik, terbentuklah staf untuk Kecamatan Banjarangkan dengan nama staf BHIMA dan berkedudukan di Desa Tihingan.
Peresmiannya berlangsung pada suatu malam, sederhana, dan singkat bertempat di rumah Nyoman Kondra. Sebagai wakil dari MBU (Markas Besar Utama) datang I Gusti Ketut Tugug dan Ida Bagus Anom (Takmung).
Adapun susunan lengkap staf BHIMA antara lain:
- I Wayan Sudha (Ketua)
- I Nyoman Bebas (Penghubung)
- Ida bagus Ngurah Gog (Perlengkapan)
- Nyoman Nesa (Pembelaan)
- Nyoman Kondra (Pol,Sos, Ekonomi)
- I Made Orta (Penerangan)
- AA. Gde Oka (Kejaksaan)
Dalam kepengerurusan staf Bhima dan ranting-ranting, I Wayan Cakranegara tak tercantum, sebab yang bersangkutan menetap di SR Tembuku Bangli dan tercatat sebagai Wakil Kepala Staf Dharmaputra III yang berkedudukan di Tembuku Bangli.
Nama Bhima dipilih karena dirasa cocok dengan semangat/jiwa perjuangan yang ada waktu itu.
Setelah terbentuknya staf Bhima sebagai wadah formal perjuangan, kegiatan perjuangan (ondergronds aksi) makin giat dilancarkan.
Di pihak lawan (tentara NICA dan kaki tangannya) makin giat dan gencar pula membuntuti gerak-gerik teman kita baik itu di tempat kerja, di desa, di keramaian tontonan sandiwara/gong dan lainnya.
Di sini mereka berusaha menekan, memotong, setiap langkah perjuangan di barisan belakang untuk mengendorkan perlawanan di front/kantong-kantong gerilya di pedalaman.
Mereka tentu juga mengetahui betapa teman-teman mereka (NICA) mendapat perlawanan yang cukup sengit dari pada gerilyawan kita.
Kendati terasa situasi semakin sulit, makin terjepit oleh gencarnya patroli tentara NICA dan gandeknya.
Namun, pertemuan-pertemuan rahasia baik yang sifatnya intern maupun penerimaan teman/utusan dari "pedalamam" masih sempat dilakukan dengan tempat yang diatur bergantian yakni di geriya, di tempat Nyoman Bebas ataupun di tempat lain.
Sementara itu kegiatan kesenian sandiwara dan Gong diusahakan berjalan seperti biasa, seakan-akan tak terpengaruh oleh situasi yang sebenarnya sudah makin sulit dan mengimpit.
Hari-hari nahas dan saat-saat tidak menguntungkan mulai menampakkan bayangannya. Pada suatu hari terjadi penggerebegan di geriya oleh pasukan tentara NICA. Semuanya digeledah, atap tembok, kamar-kamar dan lainnya.
Semuanya tak luput dari penggeledahan. Walaupun tak ada sesuatu (senjata) yang didapati. tetapi Ida Bagus Ngurah Gog hari itu juga diangkut dibawa ke Klungkung.
Sesama teman seperjuangan saling tanya tentang kemungkinan terjadinya kebocoran. Tak ada seorang pun yang dapat memberi jawaban/kejelasan. sambil melakukan tugas seperti biasanya (ke kantor, ke sekolah dan lainnya).
Beberapa hari kemudian baru diketahui bahwa para pimpinan di Klungkung yaitu Cokorda Anom Putra, Cokorda Raka, I Gusti Ketut Tugug dan Ida bagus Anom semuanya sudah ditangkap. Ada yang ditahan di Karangasem (Puri) dan ada yang ditahan di Klungkung.
Juga terdengar informasi betapa gigihnya perlawanan yang dilancarkan oleh para gerilyawan kita di daerah pedalaman.
Dengan peristiwa penangkapan itu, gerak langkah perjuangan selanjutnya dilakukan sangat berhati-hati, karena kegiatan patroli tentara Belanda NICA (Netherlands Civil Administration) terus meningkat tajam.
Setiap saat di jalur jalan Tihingan ke utara dan ke selatan bertemu dengan tentara NICA, berdua, bertiga atau lebih. Kurang lebih dua bulan berselang, hari nahas datang lagi.
Pengurus staf Bhima lainnya menerima giliran. Tentara NICA dan Polisi NICA beraksi. Selama dua hari berturut-turut dilakukan penangkapan.
Wayan Suji, Nyoman Bebas, Nyoman Kondra, Made Wenten, Wayan Sudha, Nyoman Nesa, Made Orta dan AA. Gde Oka diambil di tempatnya masing-masing.
Ada di sekolah, ada di jalan, dan ada yang sedang di rumah. Semuanya dibawa ke Klungkung. Selama beberapa hari ditempatkan di kantor polisi (masih di selatan penjara-Kampung Jawa).
Maka mulailah suatu kehidupan baru bagi kami yang ditangkap. Hidup sebagai orang tahanan dalam lingkungan baru pula.
Selama sepuluh hari pertama, setelah kami dipindahkan dari Asrama Polisi ke penjara hampir tiap malam sekitar jam 21.00 terdengar gemerincing kunci pintu penjara.
Berarti ada tahanan yang akan diambil dari sel untuk diperiksa. Bergilir kami dipanggil-diperiksa-disiksa semaunya (dipukul dan ditendang) dalam keadaan gelap. Sedangkan pemeriksa membawa lampu senter.
Kembali ke penjara (sel) sambil mengerang kesakitan. Begitu terjadi tiap malam dua atau tiga orang mendapat panggilan pemeriksaan. Tidak seorangpun yang tidak ada kena pukul.
Semua kena pukul atau tendangan, mungkin bedanya ada yang keras atau sedang-sedang. Sore hari keesokannya diantar mandi ke kali Unda dengan berbaris dikawal dua atau tiga orang tentara NICA lengkap dengan senapan dan bayonet.
Kembali dari mandi masing-masing harus membawa batu kali dikumpulkan di halaman penjara. Pemandangan ini hampir rutin setiap sore, seperti sengaja dipertontonkan kepada masyarakat Kota Klungkung.
Apabila tiba waktu makan siang atau sore, masing-masing menerima jatah makanan nasi, ikan kering, kacang kedele yang ditaburi butir-butir pasir, yang memaksa kami harus memilihnya satu per satu dengan sabar, kalau tidak ingin kelaparan.
Beberapa teman yang tidak tahan terpaksa tak makan (mekenta), tetapi tentunya hanya mampu bertahan dalam satu atau dua hari saja. Selanjutnya terpaksa ikut memilih makan dengan sabar.
Menyadari semua siksaan ini adalah ujian, kami tetap bertahan dalam pemeriksaan semaksimal mungkin. Betapapun perihnya, getirnya, kami mencoba bertahan untuk menghindarkan agar tidak lebih banyak lagi masyarakat kami yang dijebloskan ke rumah tahanan.
Setelah masa 10 hari yang menegangkan itu lewat, terjadi sedikit perubahan. Pemeriksaan dihentikan.
Setiap pagi kami diantar ke asrama tentara NICA (di belakang kantor bupati sekarang). Mengerjakan pembangunan bangsal untuk asrama mereka.
Bila sudah waktu makan siang, kami diantar ke penjara, makanan boleh diantar dari rumah masing-masing. Habis makan siang, kami kembali dijemput dan diantar ke asrama tentara.
Masing-masing menerima tugas, ada yang mengambil kayu api di Penelokan (Suter) berdua atau bertiga untuk memenuhi truk 6 ton, ada menjadi "sinyo" (pemungut bola tenis) dan lainnya.
Mandi sore tetap berbaris ke Kali Unda dan dikawal. Pengalaman pahit ini adalah pengalaman kami bersama teman-teman dari staf yang lain di Kabupaten Klungkung.
Keadaan masyarakat desa khususnya kami di Tihingan memang agak "shock", tetapi berkat pengertian mereka bahwa berjuang itu mengandung risiko, maka goncangan itu tidak berlangsung lama.
Satu kebetulan pula setelah Wayan Cakranegara yang ditahan juga di Bangli, tetapi dibebaskan lebih dahulu dari kami yang di Klungkung, dapat membantu para pimpinan desa lebih menenangkan masyarakat khususnya keluarga mereka yang ditahan.
Kegiatan seni gong pun masih dapat bertahan sampai akhirnya aktif kembali setelah keadaan menjadi tenang, dilansir dari Berita Bali, Selasa (17/8/2021).
Setelah kami mengalami penderitaan sebagai tahanan selama berbulan bulan bahkan ada yang setahun lebih, berangsur-angsur kami pun dibebaskan di kala kalender menunjukkan 1948.
Pada tahap berikutnya, dengan semangat juang yang memang tak pernah padam, masing-masing meneruskan perjalanan hidup sesuai jalur dan profesinya.
Demikianlah sejarah singkat urun bhakti perjuangan seluruh masyarakat anggota dan pendukung staf Bhima di Desa/Perbekelan Tihingan khususnya, Kecamatan Banjarangkan Klungkung umumnya, bagi bangsa, Negara Indonesia merdeka tercinta.
Pada akhirnya kami berharap dan memohon kehadirat Tuhan Yang Maha Kuasa, Maha Pemurah, semoga kepada generasi penerus diberikan kemampuan untuk menjadi pewaris yang baik, yang dapat berbuat bhakti lebih banyak dari kami para pendahulunya.