Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 25 November 2022 | 16:28 WIB
Kepala Sekolah SDN Panggang, di Dusun Panggang, Desa Persiapan Belongas, Kecamatan Sekotong Lombok Barat (Lobar) saat bersalaman dengan siswanya. (Istimewa)

SuaraBali.id - Cerita miris nasib guru di pedalaman Lombok Barat terjadi di Dusun Panggang, Desa Persiapan Belongas, Kecamatan Sekotong, Lombok Barat (Lobar).

Jalannya menuju sekolah tempatnya mengabdi tidaklah mudah. Untuk menempuh perjalanan ini guru harus melewati perbukitan.

Tantangan menuju sekolah untuk mengajar ini meningkat kala tiba musim penghujan. Jalanan berlumpur mau tak mau harus dihadapi.

Tak jarang ia terpeleset saat mengendarai motor dinasnya yang bermerek WIN 100 cc. Namun ketika jalanan sudah tak mungkin dilalui dengan kuda besinya tersebut, terpaksa kendaraannya itu dititipkan di rumah warga.

Ia pun melanjutkan perjalanan demi mengajar para murid dengan jalan kaki sejauh 7 kilometer. Namun lebih miris lagi, sarana Mandi Cuci Kakus (MCK) juga belum memadai.

Kala hendak buang air, sang guru harus rela seperti muridnya, buang air di pinggir pantai atau di semak-semak. Apa daya, fasilitas di pelosok Lombok Barat tersebut benar-benar tak memadai.

Cerita miris ini dialami oleh Kepala Sekolah SDN Panggang, Lalu Gunawan. Ia menceritakan pengalaman pilunya untuk menuju sekolah.

Sambil menggeber motornya, ia mengisahkan kala musim hujan dan lumpur benar-benar parah, maka dirinya harus memikul kendaraan.

epala Sekolah SDN Panggang, di Dusun Panggang, Desa Persiapan Belongas, Kecamatan Sekotong Lombok Barat (Lobar) saat mengendarai motor dinas merk win 100 CC untuk menuju sekolah. [Istimewa]

Memang untuk menuju sekolah ini bisa menggunakan sampan, namun tak ada yang gratis, ia harus mengeluarkan ongkos untuk pulang pergi hingga Rp 50 ribu. Sehingga mau tak mau, demi pengiritan ia tetap mengandalkan motornya.

"Kalau untuk sepeda motor sekali jalan Rp 50 ribu, untuk bensin 20 ribu sisanya untuk makan," ujarnya saat dihubungi suara.com, Jumat (25/11/2022).

Untuk datang pagi ke sekolah, Gunawan berangkat pukul 06.00 Wita. Jika berangkat lebih lambat, dapat dipastikan ia akan terlambat ke sekolah.

Namun ketika musim hujan, ia harus berangkat pagi buta dari rumah selepas Subuh.

"Tidak jauh dari rumah hanya 15 kilometer tapi medan yang sulit, untuk itu kami mohon diperhatikan infrastruktur", katanya.

Saat air sedang surut, perjalanan ke dapat sekolah dapat dilalui dari sebuah menange atau semacam tambak. Tidak perlu melewati bukit, namun jika air pasang, harus melalui jalanan berbukit.

"Kalau pasang ya naik jalanan bukit," keluhnya.

Bukan hanya sarana infrastruktur jalanan menuju sekolah, Gunawan juga mengeluhkan di sekolah ini tidak ada (MCK) di sekolah yang memadai.

"Jadi kalau mau  buang air kadang ke pinggir laut atau ke semak-semak," tambahnya.

Saat ini di SDN Panggang tercatat ada 67 siswa yang menempuh Pendidikan Sekolah Dasar. Jumlah ini pun masih membutuhkan adanya penambahan Ruang Kelas Baru (RKB). Sedangkan jumlah guru  ada 9 orang dan 1 operator sekolah.

Di Hari Guru ini, Lalu Gunawan berharap sekolah-sekolah pinggir diperhatikan serius oleh pemerintah. Ia berharap pemerintah dapat meningkatkan kesejahteraan para guru di sekolah terpencil.

Selain itu supaya sekolahnya dibantu penambahan ruang kelas dan MCK, pembuatan jalan yang layak menuju sekolah, serta dapat diberikan bantuan seragaman sekolah untuk siswa beserta buku pelajaran.

"Tiang kayak Oemar Bakrie Kami masih rasakan tempo dulu. Kami berharap pemerintah memperhatikan", pungkasnya.

Kontributor: Toni Hermawan

Load More