Scroll untuk membaca artikel
Tasmalinda
Minggu, 29 Mei 2022 | 21:24 WIB
Diskusi peringatan World Press Freedom Day (WPFD) di Bali [dok AJI Denpasar]

SuaraBali.id - Aliansi Jurnalis Independen atau AJI Denpasar menggelar diskusi tentang serangan digital di tengah upaya memperjuangkan kebebasan pers, pada Sabtu (28/5/2022) malam. Diskusi ini merupakan bagian dari peringatan World Press Freedom Day (WPFD), bertempat di Rumah Makan Kubu Kopi, Denpasar - Bali.

Diskusi menghadirkan pemantik diskusi Anton Muhajir (SAFEnet_ dan Ketua AJI Denpasar Eviera Paramita Sandi. Dalam pemaparannya, Anton Muhajir mengatakan serangan digital terhadap aktivis, pegiat sosial serta jurnalis terus mengancam. Jumlah serangan pun terus meningkat.

Berdasarkan hasil monitoring dan pengaduan ke SAFEnet pada tahun 2020 telah terjadi 143 insiden digital. Pada tahun 2021 tercatat mengalami kenaikan menjadi 293 kasus.

Menurut Anton, sasaran serangan biasanya menyasar jurnalis, aktivis atau organisasi masyarakat sipil (NGO) pada saat mencuat isu- isu tertentu. “Serangan cukup marak pada saat ramai Wadas melawan misalnya, begitu juga saat ramai Omnibus Law. Tahun ini puncaknya bulan April, waktu itu ada isu tolak tiga periode Jokowi,” kata Anton.

Baca Juga: Hasil Undian Turnamen Pramusim 2022, Bali United dan Persib Masuk Grup Maut

Serangan digital menurut Anton dilakukan dengan beberapa cara, seperti Doxing dan peretasan.

Doxing adalah satu model kekerasan digital dimana pelaku menelusuri data pribadi (korban) lalu dipublikasikan tanpa izin dengan tujuan mencemarkan nama baik, termasuk untuk kriminalisasi. Sementara peretasan, pelaku coba masuk atau mengambil alih perangkat atau akun korban.

"Misalnya akun media sosial seperti WhatsApp, Facebook atau Instagram. Biasanya ada yang bersifat percobaan masuk, WA paling banyak. Contohnya pada kasus Sasmito ketua Ajindo, pelaku berhasil kuasai dua akun FB dan IG. Dugaan kami itu terjadi ketika gunakan WiFi hotel yang berisiko tinggi,” tutur Anton.

Sehingga, ia menekankan pentingnya kesadaran untuk peduli pada keamanan digital. Saat ini tidak bisa hanya berpikir secara konvensional karena tantangan aktivis dan jurnalis mengalami perubahan. Jurnalis dan aktivis perlu pembekalan keamanan digital.

“Harus jadi kesadaran bersama, belum sadar sebelum jadi korban, biasanya sudah telat. Perlu sadari itu supaya lebih tangguh,” ucap Anton.

Baca Juga: 5 Hotel Bintang 4 di Bali Buat Liburan Semakin Nyaman

Ketua AJI Denpasar Eviera Paramita Sandi dalam pemaparannya mengatakan media tempatnya bekerja sempat nyaris jadi korban peretasan. Beruntung tim IT sigap dan bias segera mengantisipasi.

"Saat ini ancaman serangan digital makin nyata terhadap jurnalis dan aktivis. Apalagi dalam pekerjaan sehari-hari tidak lepas dari internet. Cukup susah untuk bersembunyi karena aktivtas sehari-hari selalu berhubungan dengan internet,” kata Viera.

Jurnalis menjadi lebih rentan karena di berita yang disajikan nama penulis berita. "Sehingga jika ada pihak-pihak yang berkeberatan dengan materi pemberitaan maka akan dengan mudah melakukan penelusuran. Karena itu perlu dilakukan mitigasi untuk mengantisipasi datangnya serangan. Baik dengan pelatihan maupun penguatan sistem keamanan pada aplikasi yang digunakan," ujarnya.

“Mungkin perlu duduk bersama antara pemerintah, aparat dan masyarakat untuk perlindungan digital, sehingga data yang kita miliki bisa dilindungi. Sayang kita belum seperti di Eropa dimana data pribadi sangat dilindungi,” Imbuh Viera.

Load More