Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Selasa, 03 Mei 2022 | 06:50 WIB
Beberapa masyarakat rela naik dipagar masjid untuk menyaksikan pawai berkuda tradisional di Desa Jantuk, Kecamatan Sukamulia, Lombok Timur, Selasa (3/5/2022). [Foto : Suara.com/Toni Hermawan]

SuaraBali.id - Matahari perlahan bergeser ke ufuk barat sembari diringi kumandang  takbir, tahmid, dan tahlil bersahutan di masjid-masjid pelosok desa.

Suara riuh tepuk tangan masyarakat  memekan telinga yang disambut kuda-kuda  elok dipamerkan warga sembari menunggu kuda-kuda lainya untuk berkumpul dalam sebuah Jalan  dan siap menjajal aspal pedesaan. 

Ini telah menjadi pemandangan selama bertahun-tahun secara turun temurun usai perayaan hari raya idul fitri di Desa Jantuk, Kecamatan Sukamulia, Lombok Timur.

Ratusan kuda yang ditunggangi mulai dari anak kecil, pria dewasa, hingga perempuan atau dalam bahasa sekitar dikenal dengan Tiu.

Baca Juga: Mahalini Ikut Rayakan Idul Fitri Dan Sungkeman Bersama Keluarga Rizky Febian

Sembari menyaksikan pawai berkuda, Kepala Desa Jantuk, Junaidi bercerita,  pawai berkuda ini telah ada sejak turun temurun dan dilaksanakan hari pertama perayaan  Idul Fitri sekitar pukul 17.00 WIB dan hari kedua perayaan hari raya Idul Fitri sekitar pukul 04.00 WIB sekitar waktu subuh hingga pukul 07.00 WIB pagi.

Salah satu penunggang kuda saat melintas di depan masyarakat yang menonton pawai berkuda di Desa Jantuk, Sukamulia, Lombok Timur. [Foto : Suara.com/Toni Hermawan]

"Tradisi ini sudah ada sebelum orang tua saya ada," katanya memulai bercerita.

Awal mula adanya pawai berkuda, kata Junadi, Desa Jantuk terkenal dengan banyaknya kuda dan waktu itu tidak ada tonton lain seperti saat ini.

Untuk itu masyarakat berinisiatif membuat tontotan masyarakat untuk memeriah perayaan lebaran, atas dasar itu masyarakat membuat tontonan dengan mengadakan pawai menunggang kuda keliling desa.

"Dulu di sini banyak kuda," sambungnya.

Seiring berjalannya waktu, kuda-kuda di Desa Jantuk sudah mulai berkurang.

Untuk itu masyarakat menyewa kuda dari luar wilayah hingga merogoh kocek untuk kuda yang tergolong besar senilai Rp 2 juta dan kuda kecil Rp 1 juta.

"Sewa itu itungannya per malam," katanya sembari geleng-geleng.

Namun sayang, para penunggang kuda ini tergolong memiliki risiko tinggi. Sebab selama bertahun-tahun para penunggang kuda ini tidak dibekali kemanaan standar. Perihal kecelakaan, memang ada yang terjadi namun para joki tidak ada yang sampai terluka parah.

"Dari dulu tidak memakai apa-apa, liat anak-anak juga lihai berkuda" kelitnya.

Kendati demikian, Junadi mengaku hanya beberapa masyarakat yang menjadi joki penunggang kuda untuk balapan. Sisi lain, dengan budaya pawai berkuda setiap perayaan hari raya idul fitri pihak desa bercita-cita menjadi desa wisata untuk menarik para wisata.

Salah satu upaya  dengan membangun komunikasi dengan Dinas Pariwisata (Dispar) Lotim. Namun belum ada kejelasan.

 "Sama Dispar kami sering ketemu," pungkasnya.

Kontributor : Toni Hermawan

Load More