Scroll untuk membaca artikel
Denada S Putri
Minggu, 21 November 2021 | 22:08 WIB
ilustrasi pelecehan seksual, pencabulan dan perkosaan. [envato elements]

SuaraBali.id - Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali membongkar adanya praktik pelecehan seksual yang terjadi di Kampus Universitas Udayana (Unud) Bali.

Tercatat ada 42 kasus pelecehan seksual yang menimpa kaum mahasiswa yang terjadi pada akhir tahun 2020 hingga sekarang.

Menurut Direktur Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Bali, Ni Kadek Vanny Primaliraning, data tersebut terkumpul saat pihaknya bersama mahasiswa Unud membuka posko pengaduan terkait dengan korban kekeras seksual pada akhir 2020.

"Jadi, dari posko tersebut tidak harus korbannya yang minta advokasi, bisa saja pihak ketiga seperti temannya yang mengetahui kejadian. Kami bersedia advokasi kasus dan advokasi data yang tentunya sangat penting," bebernya melansir dari BeritaBali.com--Jaringan Suara.com, Minggu (21/11/2021).

Baca Juga: Bali Masuk Daftar 30 Situs Warisan Dunia Terpopuler

Diungkapkanya, dari 42 kasus tersebut pelakunya beragam. Ada Dosen tercatat 5 orang, karyawan umum 5 orang, karyawan kampus, alumni kampus, pedagang seputaran kampus, pengendara motor hingga buruh bangunan.

"Selebihnya teman mahasiswi itu sendiri," bebernya.

Kadek Vanny kembali menjelaskan, jenis kekerasan seksual juga bervariasi. Ada dua kasus perkosaan, kekerasan seksual berbasis gender online lima kasus, ekploitasi seksual serta intimidasi seksual masing-masing satu kasus. 

"Sisanya pelecehan seksual. Data yang terkumpul tersebut disampaikan kepada Wakil Rektor 4 Unud, pada 29 Desember 2020 silam," terangnya.

Dia berharap agar kasus tersebut ditindaklanjuti pihak perguruan tinggi dengan membentuk sistem perlindungan bagi korban kekerasan seksual atau mengubah sistem yang sudah ada, termasuk menindak tegas pelakunya.

Baca Juga: Bali Larang Pesta Kembang Api di Perayaan malam Tahun Baru 2022

"Korban itu sebenarnya secara hukum memang minim perlindungan, sehingga kasusnya sempat dipublish untuk mendorong tindakan dari pihak kampus,” ujarnya.

Lain hal, pihaknya mendorong mahasiswa agar membuat persetujuan dengan Rektorat untuk membentuk perlindungan tersebut. Namun, ditolak dan tidak diindahkan sebagai sesuatu yang urgen urgen. Selain itu, dari korban atau keluarga tak ada yang melapor ke polisi.

"Hingga kini belum juga ada tindak lanjut serius dari pihak kampus. Artinya semua masalah yang membuat para penyintas ketakutan dan tak nyaman dalam belajar di kampus itu tak ada yang tuntas," bebernya.

Diharapkan, pihak perguruan tinggi tersebut tidak hanya bertindak karena desakan akreditasi, karena tidak akan melindungi korban, tapi jadi sekedar formalitas. Sementara itu, Rektor Unud Prof. Dr. Ir. I Nyoman Gde Antara M. Eng, belum memberikan respon hingga berita ini diturunkan.

Load More