Tradisi Siat Sambuk Tabanan: Perang Serabut Kelapa Sehari Sebelum Nyepi

Bukan sekedar melestarikan budaya, ritual Siat Sambuk ini juga dipercaya sebagai penolak bala dan menetralisir hal - hal negatif pada lingkungan desa.

Eviera Paramita Sandi
Selasa, 31 Oktober 2023 | 09:10 WIB
Tradisi Siat Sambuk Tabanan: Perang Serabut Kelapa Sehari Sebelum Nyepi
Tradisi Siat Sambuk [tabanankab.go.id]

SuaraBali.id - Indonesia kaya akan seni dan budaya, Di beberapa daerah bahkan masih melestarikan budaya-budaya dan dijadikan sebagai sebuah tradisi.

Salah satunya Pulau Bali yang masih kental akan tradisi. Disetiap daerah di Pulau Bali juga memiliki tradisi masing-masing.

Seperti di Desa Pohgending, Desa Pitra, Kecamatan Penebel, Kabupaten Tabanan, Bali. Di daerah tersebut memiliki tradisi yang cukup unik yaitu Siat Sambuk.

Siat Sambuk ini sering disebut dengan perang serabut kelapa. Biasanya tradisi ini dilakukan saat hari pengrupukan sebelum matahari tenggelam atau tepatnya sehari sebelum hari raya Nyepi.

Baca Juga:Kisah Pemburu Penyu yang Kini Sadar Dan Menjadi Pelestari di Pantai Perancak

Bukan sekedar melestarikan budaya, ritual Siat Sambuk ini juga dipercaya sebagai penolak bala dan menetralisir hal - hal negatif pada lingkungan desa.

Melansir dari laman Budaya Indonesia, sejak tahun 1995, ritual Siat Sambuk ini menerapkan strategi perang modern.

Pasukan Siat Sambuk ini dibagi menjadi dua, yaitu Wong Kaja (Kelompok Utara) dan Wong Kelod (Kelompok Selatan).

Kedua Kelompok menyiapkan amunisi berupa Sambuk berisi bara api. Kemudian ada pasukan serbu yang bertugas melempar lawan dan ada pasukan logistik yang bertugas membawa Sambuk membara untuk dilemparkan ke lawan.

Kedua Kelompok itu kemudian memulai perang saling melempar Sambuk dengan diiringi gamelan Bale Ganjur.

Baca Juga:Warga Buleleng yang Hilang di Danau Buyan Ditemukan Tak Bernyawa

Meski Sambuk yang dilemparkan itu mengandung bara api, anehnya tubuh mereka yang terkena tidak mengalami luka.

Ritual Siat Sambuk ini diakhiri dengan semua kelompok berkumpul di pertigaan desa, kemudian bersama-sama nunas Tirta, saling bersalaman, berpelukan seperti tidak terjadi perang sebelumnya.


Kontributor: Kanita Auliyana Lestari

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

Lifestyle

Terkini

Tampilkan lebih banyak