SuaraBali.id - Lembaga Perlindungan Anak (LPA) Kota Mataram memberikan perhatian serius terhadap kerusuhan yang terjadi antara SMP 14 Mataram dengan SD Model.
Pihaknya menduga adanya provokasi langsung ataupun tidak langsung. LPA juga menyiapkan tim guna memberikan pendampiangan psikologi terhadap siswa SD Model.
Untuk SMP 14 Mataram diberikan langkah rehabilitasi.
Ketua LPA Mataram Joko Jumadi mengatakan setelah adanya permasalah lahan yang ditempati SD Model Mataram. Sebab administrasi tidak bisa diselesaikan.
Baca Juga:Rusuh Antara SMP 14 Mataram Dengan SD Model, Dinas Pendidikkan Sebut Kegagalan Guru
Sehingga SD Model Mataram dipindahkan belajar ke SMP 14. Proses belajar pun diberikan pembatas antara SMP 14 Mataram dengan SD Model Mataram.
"Kerusuhan ini sebagai puncak sebuah masalah yang tidak diselesaikan secara tuntas", kata Joko saat dihubungi Suara.com, Sabtu (3/9/2022).
Joko berpendapat dalam kerusuhan ini adanya provokasi sebab tidak mungkin seorang anak-anak melakukan tindakan anarkis tanpa adanya provokasi secara langsung ataupun tidak langsung.
Semisal provokasi tidak langsung, siswa sering mendengar keluhan ataupun ungkapan dari guru yang mungkin tidak berniat memprovokasi. Tetapi karena siswa mendengar keluh kesah para guru sehingga siswa terbawa perasaan. Hal ini diduga kuat menjadi pemicu.
"Saya berpendapat gak mungkinlah gak berani anak-anak anarkis kalau tidak ada dorongan baik langsung tidak langsung," keluhnya.
Baca Juga:96 Gempa Bumi Tercatat Guncang NTB Sejak 26 Agustus 2022
Ia melanjutkan, secara strata sosial terdapat perbedaan mencolok antara SD Model dan SMP 14 Mataram. Salah satunya, SD Model cendrung berasal dari kalangan ekonomi menengah atas.
Lain halnya dengan SMP 14 Mataram berasal dari keluarga dengan kondisi ekonomi menengah ke bawah, siswa ada yang ditinggal merantau ke luar negeri dan tinggal bersama kakek ataupun neneknya.
Karaktristik ini menjadi tantangan bagi sekolah. Selama belajar pula, dengan dalih siswa SD Model sering mendapat bullying dan kekerasan dari siswa SMP hingga belajar terpisah diberikan pembatasa. Sehingga tidak ada interkasi dari siswa SD Model dan SMP 14 Mataram.
"Tidak ada inklusifitas antara siswa SD dan SMP, ini gak terselesaikan cara menyelesaikan hanya membuat sekat yang dianggap membatasi, tapi ini sulit menyelesaikan. Sisi lain anak SMP dan guru tidak nyaman dengan proses pembelajaran, khususnya ada siswa SMP belajar di luar. Namanya duduk lesehan dua jam aja capek, guru juga di situasi panas dan segala macamnya mungkin ada keluhan dan ungkapan tidak berniat memprovokasi. Namun menunjukkan para guru dengan situasi tidak nyaman, kondisi itu secara tidak langsung siswa terbawa suasana sehingga menyebabkan anak-anak jadi beringas," katanya.
Atas insiden ini kabarnya wali murid dari siswa SD Model melaporkan ke polisi sebab anaknya trauma.
Joko mengaku jika kasus ini dilaporkan tidak menghalangi proses hukum. Namun dinilai kurang pas sebab belum diketahui jumlah anak-anak yang menjadi pelaku.
Proses hukum yang menimpa anak juga ujungnya rehabilitasi. Terpenting, SD model akan dibantu oleh LPA untuk proses pemulihan. Untuk SMP harus menjadi pembelajaran dan akan dibantu proses rehabilitasi.
"Saya tidak menghalangi proses hukum tapi kita belum tahu berapa anak yang menjadi pelaku, toh ujungnya nanti akan direhabilitasi," tambahnya.
Atas insiden ini, Joko meminta untuk dilakukan evaluasi pola pendidikan, sedari awal harus memberikan perhatian serius kepada sekolah-sekolah dengan stigma 'bermasalah' harusnya ada perlakuan khusus ataupun tindakan khusus mulai dari peran serta guru BK dan penguatan pembelajaran karakter.
"Jika adanya stigma sekolah bermasalah peran dan kualitas guru BK sebagai solusi dan dinas harus mendukung adanya pendidikan kurikulum karakter," harapnya.
Jika adanya oknum dari orang dewasa yang memprovasi sehingga terjadi kerusuhan, Joko meminta ada tindakan tegas dari pemerintah. Dirinya menganjurkan untuk mengedepankan proses administrasi.
"Saya sih tidak anjurkan proses hukum tapi proses adminitrasi yang dikedepankan, untuk anak-anak saya lebih menganjurkan bukan pendeketan hukum tapi melalui pendekatan rehabilitasi sosial," pungkasnya.
Kontributor: Toni Hermawan