“Itu Rp250.000 buat memandu ritual dan ubo rampe. Ada yang gratis tapi hanya sekadar mandi di pancuran lalu buang celana dalam dan pakaian lalu balik,” kata dia.
Dia berharap pihak terkait dapat mengkaji mendalam tentang sejarah dan budaya banyak makam dan makom atau petilasan di Pegunungan Sanggabuana.
“Apakah makam dan makom itu memiliki potensi cagar budaya atau kesejarahan? Ini perlu kajian lebih dalam karena semakin lama malah menjamur ritual,” ucapnya.
Dia juga meminta pemerintah menertibkan praktik ritual membuang celana dalam di Pegunungan Sanggabuana. Pertimbangannya ritual tersebut merusak ekologi.
“Sampah celana dalam atau lainnya. Secara ekologi tidak baik karena mengotori Pegunungan Sanggabuana. Sampah pakaian dalam mengotori aliran air. Para peziarah ini dalam kondisi sehat atau tidak? Pengunjung dari berbagai kalangan pekerja yang berharap berkah dari pancuran ini dan jika sedang tidak sehat bisa menyebarkan penyakit menular,” ujarnya.
Di khawatir ritual tersebut akan bertahan dan melekat sehingga menjadi keyakinan baru.
“Kami berharap pemerintah segera melakukan tindakan atau upaya penertiban praktik ritual yang merugikan ekologi. Kalau tidak segera ditindaklanjuti ritual ini akan selamanya bertahan dan malah melekat. Bisa jadi keyakinan baru.”