Cerita Kehidupan Masyarakat Bali Tempo Dulu di Bawah Naungan Pohon Beringin Besar

Di Bali, pohon Beringin yang berukuran besar punya arti penting bagi kehidupan bermasyarakat tempo dulu terutama di pedesaan.

Eviera Paramita Sandi
Senin, 25 Oktober 2021 | 15:07 WIB
Cerita Kehidupan Masyarakat Bali Tempo Dulu di Bawah Naungan Pohon Beringin Besar
Pohon Beringin di Bali

SuaraBali.id - Bagi sebagian orang pohon Beringin mungkin punya kesan menyeramkan atau angker. Bahkan tak jarang pohon Beringin diasosiasikan sebagai sesuatu yang mistis.

Di Bali, pohon Beringin yang berukuran besar punya arti penting bagi kehidupan bermasyarakat tempo dulu terutama di pedesaan. Pohon ini punya peran penting sebagai pusat aktivitas masyarakatnya.

Dilansir dari laman beritabali.com – Jaringan Suara, diceritakan kala itu seorang warga negara asing yang pernah berkunjung ke Bali bernama Horst Henry Geerken menuliskan catatan tentang pohon Beringin di Bali. Bulan Januari 1964, Horst Henry Geerken, seorang warga Jerman yang bekerja di perusahaan telekomunikasi Jerman, melakukan perjalanan darat dengan mobil dari Jakarta ke Bali.

Tujuan akhir perjalannya adalah lokasi ia bekerja, yakni proyek pembangunan Bandara Tuban (Ngurah Rai) di wilayah Badung, Bali.

Dalam bukunya " A Magic Gecko", Henry menulis, ia tiba di Jakarta tahun 1963. Januari 1964 ia harus melakukan perjalanan ke Bali untuk ikut dalam proyek pembangunan Bandara Internasional Ngurah Rai yang saat itu disebut Bandara Tuban.

 Saat itu Bandara Tuban hanyalah sebuah landasan rumput sederhana bergelombang dan hanya sekali-sekali didarati oleh pesawat kecil. Presiden Sukarno ingin menjadikan bandara ini berstandar internasional untuk membuka Bali bagi pariwisata.

Henry bertugas untuk menyediakan alat-alat yang berhubungan dengan telekomunikasi.

Setelah menempuh perjalanan beberapa hari dengan mobil dari Jakarta, Henry dan sopirnya kemudian menyeberang dengan kapal laut dari pelabuhan kecil Banyuwangi Jawa Timur menuju Pelabuhan Gilimanuk di Jembrana Bali. Mereka menunggu lama sebelum mobil dinaikkan ke kapal dengan teriakan-teriakan petugas di pelabuhan.

"Begitu kapal bertolak, kami berhadapan dengan bahaya di selat ini. Ombak Selat Bali tinggi. Sopir dan saya basah kuyup ketika tiba di Gilimanuk,"tulis Henry.

Baru berjalan beberapa kilometer, Henry sudah melihat Bali berbeda dengan Jawa. Di Bali, Jawa di sebut Jawi yang berarti jauh atau pulau yang jauh.  Pemandangan sawah yang betingkat-tingkat jauh lebih indah di Bali.

Saat melewati desa-desa yang ada di Bali, Henry merekam kehidupan warga desa yang waktu itu masih tergolong sederhana. Kehidupan di desa waktu itu, biasanya terpusat di bawah naungan pohon beringin berukuran besar. Menurut Henry, batangnya lebih besar daripada pelukan 20 laki-laki.

"Di sini (di bawah naungan pohon beringin), mereka membeli, menawar, dan bergosip. Di sini pula mereka mencukur rambut, berteman, dan melerai permusuhan. Perempuan yang memangggul keranjang penuh dengan hasil kebun berjalan ke pasar untuk mencari nafkah,"kenang Henry.

Selain mencatat tentang fungsi pohon beringin yang menjadi salah satu pusat kegiatan warga desa, Henry juga merekam kehidupan masyarakat Bali di jaman itu.

"Di luar rumah ada keranjang tenunan kasar yang berisi harta paling berharga dan dicintai laki-laki Bali yakni ayam petarung. Si pemilik ayam biasanya duduk sambi memijat dan menimang-nimang ayamnya agar kuat dalam pertarungan berikutnya. Dimana-mana di jalan, di luar rumah dan di bawah pohon beringin suci, terdapat sesajen yang ditaruh di dalam keranjang anyaman,"tulisnya.

Perempuan dalam pakaian tradisional berdoa dan mencipratkan air yang sudah disucikan dengan gerakan tangan yang anggun. Patung penjaga pura dipahat dengan artistik dipajang di depan gapura.

Sedangkan batang pohon beringin diberi kain kotak-kotak warna hitam putih.

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak