Hubungan Baik Antara Tiongkok Bali Sejak Masa Dalem Balingkang, Ini Sejarahnya

Jadi paham Siwa-Buddha di Bali telah ada sebelum paham Siwa-Buddha Majapahit masuk ke Bali, terutama berkembang pesat pada masa pemerintahan Dalem Balingkang.

Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 15 Oktober 2021 | 14:23 WIB
Hubungan Baik Antara Tiongkok Bali Sejak Masa Dalem Balingkang, Ini Sejarahnya
Dahulu kala sebelum berakarnya kekuasaan kerajaan Majapahit di Bali (1343 M) telah berdiri kerajaan besar yang disebut Dalem Balingkang

SuaraBali.id - Dahulu kala sebelum berakarnya kekuasaan kerajaan Majapahit di Bali (1343 M) telah berdiri kerajaan besar yang disebut Dalem Balingkang. Pada masa itu Bali banyak mendapat pengaruh Hindu dari India.

Seiring dengan perkembangan agama Buddha di India yang kemudian menyebar ke daratan Asia lainnya terutama berkembang pesat di Tiongkok, maka Bali yang mempunyai hubungan baik dengan Tiongkok akhirnya juga kena pengaruh Buddha. Itu  sebabnya ada dua pura Siwa-Buddha besar di Bali, yaitu Pura Batur dan Pura Besakih.

Jadi paham Siwa-Buddha di Bali telah ada sebelum paham Siwa-Buddha Majapahit masuk ke Bali, terutama berkembang pesat pada masa pemerintahan Dalem Balingkang.

Seluruh wilayah pulau (satungkub Bali) dan masyarakatnya di zaman Bali Kuna pernah dikuasai dan dipimpin oleh tidak kurang dari 23 raja, dan yang paling terkenal banyak mengeluarkan prasastinya yaitu Sri Haji Jayapangus, yang kemudian juga lebih dikenal dengan sebutan Dalem Balingkang.

"Pada masa pemerintahan Dalem Balingkang ini, sudah terjalin hubungan baik antar Bali dengan Tiongkok, pertama-tama lewat perdagangan yang kemudian diikuti oleh bidang kebudayaan. Hubungan baik itu ditandai oleh diberikannya hadiah seorang putri bangsawan Tiongkok yang bernama Kang Cing Wie kepada raja Bali Sri Haji Jayapangus sebagai permaisuri bergelar Paduka Çri Mahadewi Çaçangkajacihna (Paduka Sri Mahadewi Sasangkajacihna)," jelas Guru Besar Universitas Udayana Bali, Prof. Anastasia Sulistyawati dalam tulisannya yang berjudul "Arsitektur Pura Dalem Balingkang Sebagai Salah Satu Daya Tarik Utama Wisatawan Tiongkok dalam Pengembangan Pariwisata Berkelanjutan di Bali".

Kedatangan putri bangsawan Tiongkok yang bernama Kang Cing Wie ke Bali disertai beberapa ratus pengikut. Ratusan pengikut sang putri kemudian bermukim di seputar wilayah kota Balingkang seperti, desa Ping’an (Pinggan), Pasar’ai (Serai = Pasar), Sia’in (Siakin), Belanding’an (Belandingan), Paketan (Paket’an=tempat arena perjudian).

Kedatangan orang-orang Tionghoa terus bertambah sejak perkawinan raja Bali dengan Kang Cing Wie. Kang Cing Wie kemudian langsung diangkat sebagai Ratu Ayu Mas Subandar (kepala syahbandar atau penguasa pelabuhan).

Pengaruh Tionghoa juga berpengaruh terhadap nama tempat: Desa Langan berasal dari Loan’an dan Balingkang = Bali + Kang (Marga Bali dari raja Bali Jaya Pangus + Marga Kang dari putri Kang Cing Wie).

Dengan adanya penduduk pendatang dari Tiongkok ini, otomatis membawa kebudayaan Tiongkok dan paham Buddha Mahayana, kemudian lama-kelamaan terjadi integrasi dan akulturasi, yang melahirkan kebudayaan Siwa-Buddha seperti dikenal sekarang di Bali. Itulah yang kemudian menjadi latar belakang didirikannya palinggih Subandar pada salah satu bagian mandala di kedua pura besar di Bali yaitu Pura Batur dan Besakih.

Sebagai tempat pemujaan khusus terhadap Ratu Ayu Mas Subandar, tentu ada di Pura Dalem Balingkang sebagai pusat kerajaan (Jero Gede Batur Alitan (Wawancara, November 2007).

Sebagai bekas sebuah Kedatuan, Pura Dalem Balingkang memiliki berbagai jenis bangunan (palinggih=stana) dengan berbagai macam fungsi dan makna yang menyertainya.

Salah satu jenis bangunan palinggih yang tadi telah disebutkan adalah palinggih Ratu Ayu Mas Subandar sebagai tempat memuja roh suci Ratu Kang Cing Wie, sebagai seorang permaisuri raja Bali sekaligus leluhur utama (kongco) dari warga Tionghoa yang bermukim di desa-desa sekitar Penulisan, Kintamani, bahkan Bali dan Indonesia umumnya.  

BERITA TERKAIT

REKOMENDASI

News

Terkini

Tampilkan lebih banyak