SuaraBali.id - Hutan Plumbon bukan tempat biasa untuk para keluarga korban Gerakan 30 September 1965. Di sana terkubur jenazah korban G30S dalam satu liang lahat.
Hutan Plumbon, tempat kuburan massal korban G30S.
Di sana ada sebuah prasasti berdiri tegak di tengah hutan jati di Kampung Plumbon, Wonosari, Kecamatan Ngaliyan, Kota Semarang.
Di tengah prasasti yang didirikan jauh dari permukiman warga itu tertulis delapan nama, yakni Moetiah, Soesatjo, Darsono, Sachroni, Joesoef, Soekandar, Doelkhamid, dan Soerono.
Baca Juga:Cerita Mbah Margo, Kakek yang Diminta Masuk Luweng untuk Cari Jasad PKI
Mereka adalah nama-nama korban pembunuhan massal pada tahun 1965 silam yang dibunuh di hutan tersebut. Mereka dibunuh karena dicurigai terlibat Partai Komunis Indonesia (PKI).
Diduga ada sekitar 12-24 orang yang dieksekusi dan dikubur di hutan jati itu. Namun, hanya delapan orang yang mampu diidentifikasi hingga namanya ditulis di prasasti atau nisan tersebut.
Moetiah
Moetiah, korban G30S asal Kendal diberi waktu untuk berdoa dan baca qiro sebelum akhirnya ditembak oleh tentara. Selain pandai qiro, Moetiah juga dikenal pintar nyinden dan aktif mengajar sebagai guru TK.
Saat ini dia dimakamkan bersama korban yang lain di Hutan Plumbon, Kelurahan Wonosari, Kecamatan Mangkang, Jawa Tengah.
Baca Juga:Monumen Ade Irma Suryani Nasution Resmi Berdiri di Sangihe
Selain Moetiah, ada juga tokoh masyarakat asal Kendal yaitu Soesetyo yang pernah menjadi Bupati Kendal pada masa itu.
Tempat pemakaman kedua orang tersebut diyakini berisi jenazah orang yang dituduh terlibat gerakan G30S.
Aktivis kemanusiaan dan pegiat HAM, Yunantyo Adi mengatakan, kuburan massal itu berupa lubang yang menyerupai sumur yang berisi 24 jenazah asal Kendal.
Masing-masing mempunyai ukuran berdiameter 1,5 meter.
Menurutnya, Hutan Plumbon saat itu masih ikut wilayah Kendal sebelum Kota Semarang melakukan perluasan wilayah.
"Semua jenazah yang dikubur di Hutan Plumbon semuanya orang Kendal," jelasnya kepada Suara.com, Rabu (30/9/2020).
Selama tiga tahun dirinya mencari jejak kuburan massal korban tragedi G30S di Kota Semarang, hingga akhirnya dia mampu mengidentifikasi nama-nama jenazah yang dimakamkan di Hutan Plumbon.
Yunantyo menyebutkan, sebelum UNESCO memilih Hutan Plumbon sebagai situs edukasi sejarah persekusi korban perang, dulunya makam tersebut digunakan untuk mencari nomor judi togel.
"Memang dulunya itu dibuat untuk mencari nomor togel. Berdasarkan keterangan warga memang seperti itu. Bahkan, mereka yang membersihkan rumput-rumputnya," ucapnya.
Karena dibuat mencari nomor togel, membuat Yunantyo mudah untuk mendekati warga.
Untuk itu, ia dan warga sekitar bersepakat untuk menjadikan Hutan Plumbon sebagai tempat untuk edukasi.
Cara tersebut, menurutnya lebih efektif untuk memberi edukasi kepada warga sekitar.
Meski demikian, saat itu ia tak mau menyentuh soal ideologi karena Yunantyo tak mau menciptakan rasa dendam.
"Saat itu kami hanya ingin agar jenazah yang ada di Hutan Plumbon dimakamkan dengan layak," imbuhnya.
Diakui PBB
Makam Moetiah dan kawan-kawan, saat ini menjadi salah satu situs yang diakui Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) sebagai pengingat tindak kejahatan hak asasi manusia (HAM).
Seperti dilansir Semarangpos, makam itu diketahui diakui PBB atas klaim Yunantyo.
Yunanto mengatakan pada 1 Mei 2019 mendapat surat elektronik (surel) dari The International Center for the Promotion of Human Rights (CIPDH).
CIPDH yang berada di bawah naungan badan khusus PBB, United Nation Educational, Scientific and Cultural Organization (UNESCO) itu meminta kepadanya untuk memberikan materi terkait makam Plumbon. Setelah itu, CIPDH-UNESCO pun menetapkan makam tersebut sebagai situs memori terkait pelanggaran HAM berat.
“Ini istimewa dan sarat makna. Terus terang, ini di luar dugaan. Plumbon sebagai kuburan massal korban tragedi 1965 dipilih UNESCO sebagai situs resmi,” ujar Yunantyo kepada Semarangpos.com (jaringan Suara.com) awal Januari lalu.
Yunantyo lantas menceritakan awal penemuan makam yang diduga berisi kerangka korban pembunuhan massal 1965 tersebut.
Makam itu semula diidentifikasi sebagai kuburan korban pembunuhan massal oleh Yayasan Penelitian Korban Pembunuhan 1965 (YPKP 65) pada tahun 2000 silam.
Namun, identifikasi YPKP 65 tak ada kelanjutan, hingga pada 2014, sekelompok aktivisi pegiat HAM yang diketuai Yunantyo dengan nama Perkumpulan Masyarakat Semarang untuk Hak Asasi Manusia (PMS-HAM) melanjutkan penelitian tersebut.
PMS-HAM membutuhkan waktu sekitar 7,5 bulan untuk melakukan penelitian mengenai identitas para korban. Mereka kemudian berhasil mengidentifikasi delapan nama dari 24 nama yang diperkirakan dikubur di makam tersebut.
Awalnya PMS-HAM hendak melakukan penggalian terhadap makam tersebut.
Namun, karena tak mendapat persetujuan dari Komnas HAM, maka dipilih opsi pemasangan nisan.
Nisan yang menyerupai prasasti itu dipasang pada 1 Juni 2015 atau bertepatan dengan Hari Lahir Pancasila. Sejumlah tokoh masyarakat dan pejabat pemerintah pun turut diundang.
Setelah lima tahun berlalu, makam Plumbon akhirnya masuk dalam kategori situs persekusi politik oleh PBB.
”Makam Plumbon masuk dalam kategori situs persekusi politik bersama kuburan massal Priaranza del Bierzo di Spanyol dan Space for Memory and for the Promotion and Defense of Human Rights (Former ESMA) di Argentina,” ujar pria yang berprofesi sebagai advokat itu.