Scroll untuk membaca artikel
Eviera Paramita Sandi
Jum'at, 14 Oktober 2022 | 08:38 WIB
Ilustrasi orang me time. (Pixabay/Petya Georgieva)

Dia berpesan untuk tidak gengsi atau malu untuk meminta maaf bila memang seseorang bersalah.

Bila butuh penengah, pasangan suami istri dapat meminta masukan dari keluarga bahkan bantuan profesional seperti psikolog atau konselor pernikahan, terutama bila diskusi antara suami dan istri tak kunjung membuahkan hasil yang diharapkan.

Untuk orang-orang yang sedang mencari pasangan untuk berumah tangga, Annisa menyarankan untuk mengenali lebih dalam karakter pasangan dan mengamati apakah ada "sinyal" berbahaya yang menunjukkan tendensi kekerasan.

Menurut dia, terkadang sulit untuk mengidentifikasi apakah seseorang berpotensi melakukan kekerasan setelah berumah tangga atau tidak. Sebab, biasanya awal hubungan berjalan baik dan lancar

Namun, ada beberapa "sinyal" yang bisa jadi pertimbangan sebelum melanjutkan ke jenjang pernikahan.

"Beberapa hal yang bisa menjadi red flags seseorang berpotensi melakukan kekerasan diantaranya bersikap kasar atau membuat orang lain merasa takut atau terintimidasi," jelas dia.

Kemudian, waspada bila pasangan mudah merendahkan atau mempermalukan orang lain. Seseorang juga patut berhati-hati bila pasangannya punya sifat terlalu ingin mengontrol, termasuk membatasi siapa saja yang boleh berteman dan berinteraksi dengan pasangan, termasuk keluarganya sendiri.

Waspada bila pasangan kerap mengancam atau memaksakan kehendak, serta tidak terbuka terkait kondisi keuangan.

Pertimbangkan lagi hubungan bila pasangan tidak pernah mau berdiskusi dan selalu merasa ada di pihak yang benar ketika muncul konflik.

Pertanda lainnya bisa bervariasi, namun menurut Annisa biasanya kesamaan yang dimiliki oleh kebanyakan hubungan dengan kekerasan adalah pelaku kekerasan melakukan berbagai cara untuk tampak lebih dominan dan memiliki kendali atas pasangannya. (ANTARA)

Load More